Saturday, May 27, 2006

TIK ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) semakin hari semakin murah dengan features yang semakin banyak dan canggih. Keadaan ini menjadikan para pengguna TIK ingin segera memilikinya dan menerapkannya. Harapannya adalah kemudahan, efektifitas dan efisiensi. Tetapi kebanyakan harapan itu jauh panggang dari api, alih-alih mendapatkan kemudahan, efisiensi dan efektifitas yang terjadi adalah kesulitan, pemborosan dan kepusingan.

Fenomena yang telah menjadi hal biasa di instansi pemerintahan Indonesia. Belanja TIK belum berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan memperoleh benefit, tetapi hanya berdasarkan “ada anggarannya” atau “agar anggarannya cair”, atau “agar tidak terjadi SIAR”. Akibatnya jutaan rupiah telah dibelanjakan untuk memenuhi program TIK tetapi benefitnya berupa kemudahan, efisiensi dan efektifitas tidak diperoleh.

Contoh paling mudah yang dapat ditemui dalam kehidupan kita sehari-hari yaitu telepon selular. Telepon seluler atau di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan HP (handphone) saat ini sudah bermacam ragam, dari yang sederhana dan berharga murah hingga yang mempunyai banyak keistimewaan dan berharga cukup mahal. Dari jutaan pemilik HP, berapa persennya yang telah memaksimalkan HP-nya ? berapa persen yang hanya digunakan untuk bertelepon dan ber-sms ? Ehm… kenapa pusing, mau dipakai apa HP-nya, tak usah dipedulikan, mereka beli dengan uang sendiri.

Kembali pada penggunaan TIK di instansi pemerintah Indonesia (yang dibeli bukan dengan uang sendiri), seorang kawan saya bertanya, “komputer masih bagus begini kok dibuang ?”. Sambil bercanda saya jawab, “agar ekonomi berputar ha…ha…ha…”.

Sesungguhnya berapa lama sih sebuah komputer bertahan ? jawabannya adalah tergantung pada untuk apa komputer tersebut digunakan, program apa yang diinstal dan yang paling penting siapa yang menggunakan.

Siapa yang menggunakannya sangat penting (jangan lupa saya sedang membahas di instansi pemerintah), kalau komputer tersebut hendak digunakan oleh pimpinan kantor, walaupun sang pimpinan hanya mengerti TIK seadanya, tetaplah beliau harus dibelikan komputer tercanggih keluaran terakhir dengan bermacam-macam keistimewaan dan asesoris yang sudah barang tentu dengan harga yang termahal. Ingat prinsip : “anggarannya ada kok”. Bila nantinya komputer tersebut hanya untuk mengetik dan ber-internet membaca koran, itu soal lain.

Di dunia PNS dimana berpikir memperoleh benefit bagi organisasi hampir tidak ada, kecenderungan ini jelas sekali terlihat. Seringkali kita jumpai pembelian barang yang sebetulnya tidak diperlukan atau barang yang dibeli terlalu canggih, sering diibaratkan membunuh nyamuk dengan senapan mesin kaliber 19, yang akhirnya nyamuknya tidak kena tetapi lingkungan sekitar menjadi rusak atau barang masih bagus sudah dihapuskan hanya karena ingin membeli type terbaru yang katanya lebih bagus dan masih banyak lagi contoh kemubasiran lainnya.

Terlepas dari itu semua, bila kita ingin lebih efisien dan efektif serta memperoleh benefit dari belanja TIK kita yang terpenting adalah pertama, menetapkan tujuan penggunaan TIK. Misalkan kita ingin menggunakan komputer hanya untuk mengetik dan ber-internet baik di kantor, di tempat sidang ataupun di rumah, cukup kita membeli sebuah laptop seharga US $ 500,-. dengan spesifikasi yang tidak terlalu tinggi.

Kedua, dalam merancang penggunaan TIK dibuat sedemikian rupa sehingga padat benefit, bukan padat modal (kembali pada tujuan penggunaan).

Ketiga, sedapat mungkin menggunakan Open Source Software dan Free Software. Hal ini dalam jangka panjang akan sangat berguna untuk memangkas ketergantungan kepada vendor, menurunkan keharusan membeli hardware dengan kemampuan terbaru dan menghemat biaya akibat lainnya. Biaya pembelian perangkat lunak komersial yang sangat mahal dan biaya akibat lainnya dapat dialihkan untuk melakukan pelatihan software alternatif open source sekaligus untuk riset dan pengembangannya.

Ketiga langkah diatas hanya dapat terjadi bila ada good will (niatan demi kemajuan bangsa dan negara) dari setiap level pimpinan instansi/organisasi (pemerintah). Tanpa good will dari pimpinan, belanja Teknologi Informasi dan Komunikasi di lingkungan Instansi Pemerintah akan tetap boros, mubasir dan bikin pusing staf pelaksana. -antz-

Thursday, May 25, 2006

Ketokan seharga 400 dolar

Suatu ketika seusai memperbaiki sebuah komputer, teman kami berkata “ohhh, cuman gitu doank toh!”. Mendengar komentar itu saya langsung teringat sebuah cerita tentang seorang teknisi yang memperbaiki sebuah mesin dan memberikan tarif 400 dolar Amerika Serikat :

Dalam sebuah perusahaan percetakan, lima orang teknisi perusahaan sedang berkutat dengan mesin cetak yang macet. Setelah dua jam dan tidak memberikan hasil, mereka mulai frustasi. Kemudian sang Kepala Bagian memutuskan untuk memanggil teknisi dari luar.

Seorang teknisi perusahaan X datang dengan membawa sebuah tas tools kit, kemudian si teknisi mulai mengamati mesin yang macet tersebut. Setelah 15 menit melihat-lihat, teknisi tersebut mengambil palu kecil dari tas tools kit-nya dan memukul perlahan di sebuah sudut mesin itu. Selanjutnya teknisi tersebut menghidupkan mesin, dan…. berhasil ! mesin tersebut hidup lagi.

Kemudian teknisi tersebut menyodorkan kuitansi ongkos jasa servis seharga US $ 400,-. Sang Kepala Bagian tersebut terkejut dan berkata “masak cuman gitu doank harganya 400 dolar ? yang bener aja mas.” Si teknisi tersebut menjelaskan rinciannya :
ongkos pemanggilan US $ 25,-
ongkos memukul dengan palu US $ 1,-
ongkos mendiagnosa kerusakan dan menentukan dimana harus diketok serta seberapa kuat ketokannya US $ 474,-

Cerita diatas merupakan gambaran umum dari para pengguna teknologi (end user / operator). Rata-rata mereka melihat suatu teknologi “diujungnya” bukan pada proses didapatkannya teknologi tersebut. Wajar saja penghargaan untuk para teknisi sangatlah minim.

Proses mendapatkan “ujung” tersebut tidaklah mudah, perlu kesinambungan pembelajaran dan perkayaan pengalaman yang akan menumbuhkan insting dalam menyelesaikan masalah yang timbul dari suatu sistem. Sebuah harga yang mahal yang harus dibayar untuk mendapatkan sebuah “ujung” yang biasanya terlihat “gitu doank”. Dan kemampuan seperti itu tidak dapat dicari di sekolah formal.

Di era yang serba instant seperti saat ini, pola pikir “gitu doank” telah merasuki mayoritas ABG (Academies, Business and Government) di Indonesia. Sehingga program-program pembangunan yang berbasis produksi, riset dan pengembangan jangka panjang hampir sulit ditemukan di instansi pemerintah kita. Bahkan dunia akademis yang seharusnya menumbuhkan iklim riset dan pengembangan malah menumbuhkan budaya instant dalam menyelesaikan permasalahan dari sebuah sistem.

Tengoklah penyelesaian masalah pembajakan software, bukannya menumbuhkan budaya riset yang menitik beratkan pada open source software malah bekerjasama dengan vendor software besar dalam program “menyelesaikan masalah”. Pada akhirnya yang akan didapat hanyalah ketergantungan yang semakin dalam terhadap software komersial tersebut, dan karena kurang uang untuk membelinya, maka makin suburlah pembajakan.

Contoh lain, produksi dalam negeri pun sangatlah minim penghargaan. Sebuah mesin S sesungguhnya telah dapat diproduksi di dalam negeri, tetapi karena tidak ada semangat menumbuh kembangkan produksi dalam negeri dan karena kepentingan sesaat, maka pilihan jatuh pada impor mesin S tersebut.

Jadi sesungguhnya menumbuhkan budaya menghargai proses yaitu riset dan pengembangan produksi dalam negeri, sangatlah memerlukan political will dari setiap Pengambil keputusan dalam suatu instansi/organisasi baik level tertinggi maupun terendah, sehingga tidak ada pengecualian dalam mendorong budaya riset dan pengembangan produksi sendiri ini. -antz-