Friday, December 22, 2006

Hidup penuh keluhan dan tuntutan

roma, sugianto. Johan merasakan sekali perbedaan bila bertemu dengan orang sukses dan dengan orang yang tidak sukses. Tentunya ukuran sukses atau tidaknya tergantung dari sudut pandang dan sangat subjektif sekali. Yang Johan maksudkan dengan bertemu dengan orang sukses adalah bertemu dengan mantan Presiden RI BJ Habibie.

Saat bertemu dan mendengarkan Pak Habibie bicara, terasa sekali atmosfir positif dan optimisme yang sangat menginspirasi semangat untuk maju. Beliau bercerita panjang lebar mengenai harapannya terhadap Indonesia di masa depan. Saat Johan bertemu beliau, saat itu usianya 69 tahun. Namun beliau masih punya banyak sekali harapan, dan dengan optimis beliau bercerita mengenai harapannya itu. Salah satunya adalah di ulang tahunnya yang ke 70 beliau merencanakan akan menerbitkan sebuah buku. Saat ini bukunya yang kontroversial telah terbit.

Johan mengingat-ingat bahwa dalam buku-buku cerita sukses, diantaranya ditulis oleh Maxwell dan Dale Carnegie, disebutkan bahwa ciri-ciri orang sukses adalah mempunyai banyak harapan, memiliki sikap mental positif, optimis dan selalu berfikir solusi. Kebalikannya adalah ciri-ciri orang yang tidak sukses.

Dalam kehidupan sehari-hari dimana Johan bekerja, ciri-ciri orang sukses seperti disebut oleh Maxwell dan Dale Carnegie tidak sampai hitungan satu telapak tangan. Johan berusaha menyangkal hal tersebut dan ingin membuktikan bahwa itu tidak benar tapi apa yang Johan dengar :

- Duduk di ruang depan kantornya, Johan mendengar orang mengeluh tentang debu.

- Ditangga Johan bertemu seorang pegawai yang mengeluh tentang betapa bertubi-tubinya pekerjaan yang harus dia kerjakan, sementara upah lemburnya diputong.

- Di pos jaga Johan pun mendengar keluhan seorang pegawai yang minta libur.

- Dilain tempat, Johan pun mendengar seorang pegawai yang mengeluh tentang bawahannya.

- Lain tempat lagi Johan mendengar keluhan seorang pegawai tentang atasannya.

Ternyata dalam kehidupan nyata sehari-hari Johan banyak sekali menemui keluhan. Ada yang sekedar mengeluh dan tidak ingin penyelesaian. Ada juga yang mengeluh dengan tuntutan. Tentunya tuntutan agar orang lain menyelesaikan masalahnya.

Bekerja ditengah orang-orang yang lebih senang mengeluh dan menuntut, membuat Johan merasa perlu membentengi diri dengan membaca hal-hal yang menginspirasi. Johan tahu persis bahwa lingkungan negatif akan mudah mempengaruhi pikirannya bila tidak secara sadar dibentengi dengan hal-hal positif.

“Bila seseorang mulai menuntut dan mengeluh terhadap suatu masalah, maka akan semakin banyak masalah yang perlu dituntut dan dikeluhkan.” -zig ziglar-

Wednesday, December 06, 2006

Benarkah Poligami adalah Sunah ?

Untuk melawan pembodohan umat yang dilakukan oleh orang-orang yang mirip ulama, saya mempostingkan lagi artikel ini yang diambil dari http://servocenter.wordpress.com

---


Kompas, Senin 12 Mei 2003

Benarkah Poligami Sunah?

Faqihuddin Abdul Kodir

UNGKAPAN “poligami itu sunah” sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).

DALIL “poligami adalah sunah” biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi “hak penuh” laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, “poligami membawa berkah”, atau “poligami itu indah”, dan yang lebih populer adalah “poligami itu sunah”.

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan “poligami itu sunah”.

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan “poligami itu sunah” juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Nabi dan larangan poligami

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: “Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan “poligami itu sunah” sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks

Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.

Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: “Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain.” (Jâmi’a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan “poligami itu sunah”.

Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah

Monday, December 04, 2006

Smackdown sang tertuduh

Anak anda berperanggai sadis, itu karena smackdown
Anak anda sering bolos sekolah, itu karena smackdown
Anak anda terjatuh dan mati, itu karena smackdown
Anak anda sangat bandel dan susah diatur, itu karena smackdown
Anak anda bodoh dan malas, itu karena smackdown
Anak anda nyusahin orang tua terus, itu karena smackdown
Anak anda penganggur abadi, itu karena smackdown
Anak anda merusak barang milik tetangga, itu karena smackdown
Anak anda memperkosa anak orang, itu karena smackdown
Anak anda gak bisa cari duit, itu karena smackdown
Anak anda karir di pekerjaannya jelek, itu karena smackdown
Anak anda mencuri mangga di kebon orang, itu karena smackdown
Anak anda menjadi penjudi, itu karena smackdown
Anak anda menjadi bandar narkoba, itu karena smackdown
Anak anda membunuh orang tua, itu karena smackdown
Anak anda menjadi kriminal, itu karena smackdown
Anak anda lahir, itu karena smackdown !

Weleh… opo tuman. -antz-

Bila ikhlas Insya Alloh masuk surga !

Pertama kali saya baca kalimat “bila ikhlas Insya Alloh masuk surga!” adalah ucapan Amrozi, si pengebom, saat ditahan polisi, yang ditujukan kepada para korban aksi pembomannya.
Dan kedua adalah saat Aa Gym menikah untuk kedua kalinya (berpoligami), yang ditujukan kepada isteri pertamanya.

Kalimat itu mengandung kebenaran yang hakiki, sebuah kalimat yang sarat dengan beban moral dan religi.

Nah…… manusia-manusia cerdas, lihay dan jeli dapat memanfaatkan kalimat itu untuk kepentingannya. Bila kepentingan itu baik, maka hasilnya tentu baik pula bagi semua, namun bila sebaliknya, maka sekelilingnya akan menuai badai, seperti korban Amrozi (yang ini jelas dan gamblang) dan korban poligami (untuk yang ini, tentu yang menuai badai adalah isteri pertama dan anak-anak dari isteri pertamanya.

Berpoligami adalah keputusan individu dan juga tanggung jawab individu. Namun akan menjadi “isu umum” manakala menyangkut tokoh, pemimpin nasional, pejabat pemerintah, panutan masyarakat ataupun sekedar artis gurem. Seperti halnya isu perselingkuhan Anggota DPRR RI kita, yang telah menjadi isu nasional.

Menjadi hal yang sangat menyedihkan manakala keputusan poligaminya itu diklaimnya adalah Sunah Rasul. Dan yang bicara adalah yang katanya Kyai, Ulama, orang Alim, Santri atau sebutan-sebutan lain yang mentereng yang menandakan ketinggian ilmu Islam-nya. Saya katakan menyedihkan, karena secara langsung mereka telah menghina Rasullulloh SAW dengan perbuatannya yang diklaim mengikuti Rasul.

Padahal Rasul sendiri menikah untuk yang kedua kalinya adalah setelah isteri pertamanya wafat. Dan wanita yang dinikahi sebagai isteri keduanya adalah janda dari temannya yang syahid di medan perang yang usianya sudah sangat tua dan miskin. Juga isteri-isteri beliau yang lainnya berusia tua dan miskin harta. Bukan janda cantik, bahenol dan kaya.

Isteri terakhirnya barulah wanita muda yang dinikahi untuk tujuan men-syiar-kan kehidupan pribadi Rasullulloh, agar dapat diteladani oleh umatnya.

Saya tidak menentang poligami, karena dalam Al Qur’an sendiri dihalalkan berpoligami, dengan syarat-syarat yang telah digariskan pula.

Namun bila kepentingan syahwat diklaim sebagai ajaran Islam dan Sunah Rasul, bagi saya ini harus ditentang.

Silakan Ustad/Kyai/Santri/Ulama yang bernama Aa Gym atau nama-nama lainnya kawin lagi entah sepuluh kali atau seratus kali, saya tidak peduli ! Tapi jangan klaim itu adalah Sunah Rasul! Cukup katakan “saya ini maniak kawin, dan daripada zinah, kan lebih baik dikawin sah!” -antz-