Saturday, September 30, 2006

Reformasi birokrasi

Sugianto, Roma. Birokrasi yang berbelit-belit telah menjadi cap pelayanan dari PNS Indonesia. Sebuah cap yang sangat negatif. Namun perlu dipahami bahwa cap tersebut bisa jadi adalah kenyataan sehari-hari di lapangan. Bahkan masyarakat mungkin masih mengingat motto para PNS adalah : kalau masih bisa dipersulit mengapa dipermudah ? Yang semuanya bermuara pada keuntungan pribadi atau kelompok. Istilah populernya adalah UUD, ujung-ujungnya duit.

Di era pemerintahan Presiden SBY saat ini, kesan PNS sebagai birokrat yang mempersulit dan selalu meminta uang ekstra atas pelayanannya, ingin diperbaiki. Beberapa departemen telah melakukan reformasi dengan memperbaiki sistem administrasi maupun struktur organisasinya. Namun koordinasi antar departemen atau instansi pemerintah masih belum menunjukkan arah menuju perbaikan bahkan terkesan semakin berpikir sektoral. Terkadang malah terkesan saling berebut kewenangan dan/atau pengelolaan. Tentunya ya masih beraroma UUD juga.

Salah satu sebab sulitnya koordinasi antar instansi pemerintah ini adalah masalah anggaran dari masing-masing instansi. Masing-masing instansi perlu mengamankan anggarannya, sehingga berpikir strategis untuk bangsa dan negara menjadi hal yang tidak prioritas.

Dalam menangani suatu isu yang mengharuskan kerjasama antar instansi pemerintah terkadang perlu waktu yang lama disebabkan masing-masing instansi harus membahas anggaran pelaksanaannya. Bila suatu instansi (katakanlah departemen A) bisa mengeluarkan anggaran untuk menangani isu tersebut, personil departemen A belum serta merta langsung dapat bekerjasama dengan personil departemen lain. Sebab baik personil departemen A maupun departemen lain masih melihat keuntungan apa yang akan diperolehnya, menjadi perhatiannya saat memutuskan ikut menangani isu tersebut atau tidak.

Sangat jelas sekali aroma UUD masih terlalu enak untuk ditinggalkan para PNS. Sebab dengan pendapatan bulanan yang dapat dikatakan kecil, setiap kegiatan tentu tetap akan dijadikan sebagai uang ekstra untuk dibawa pulang. Bahkan terlalu banyak kegiatan yang fokus utamanya hanya bagaimana menggunakan anggaran yang ada. Kegiatan yang berfokus utama dan pertamanya pada upaya membangun bangsa dan negara dapat dikatakan hampir tidak ada.

Terlalu sering kita mendengar “anggarannya ada kok” untuk suatu kegiatan atau belanja barang yang sesungguhnya tidak perlu, hanya agar personil yang menanganinya mendapat sedikit tambahan uang ekstra.

Juga banyak sekali perjalanan dinas yang sesungguhnya tidak perlu dan hanya kamuflase saja agar personilnya mendapatkan uang ekstra. Perjalanan dinas seperti ini menjadi memalukan manakala melibatkan mitra asing di luar negeri. Misalnya kunjungan anggota parlemen Indonesia ke negara-negara di Uni Eropa yang dilaksanakan saat liburan musim panas. Tentu para anggota parlemen Indonesia tersebut kesulitan menemui mitranya di negara itu karena rata-rata anggota parlemennya sedang liburan.

Atau staf departemen X mengunjungi pameran dagang di Beijing misalnya. Atau staf departemen Z mendaftar sebagai peserta seminar tentang teknologi tertentu di Bangkok misalnya. Kegiatan yang sangat bagus bila memang tujuannya untuk kemajuan bangsa, namun seringkali personil yang dikirimkan tidak kompeten dan hanya merupakan giliran sebagai upaya kesejahteraan saja.

Bila pemerintahan Presiden SBY sungguh-sungguh ingin memperbaiki citra PNS dari berbagai cap negatif tersebut, perlu dilakukan reformasi birokrasi yang menyeluruh. Upaya reformasi birokrasi ini harus dilakukan setahap demi setahap. Dan tahap pertama yang harus direformasi adalah sistem administrasi keuangan negara.

Sistem administrasi keuangan negara yang selama ini ada sangat membuka peluang bagi personil PNS, sekalipun personil PNS itu tadinya adalah mr. clean, untuk memanipulasi. Banyak sub-sub kegiatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dengan sistem yang ada sekarang, sehingga mengakibatkan perlunya teknik-teknik (atau akal-akalan) agar suatu sub kegiatan dapat masuk dalam pembukuan pertanggung jawabannya. Teknik-teknik mempertanggung jawabkan seperti itulah yang akhirnya menjadi teknik memanipulasi.

Tahap kedua adalah reformasi administrasi kepegawaian. Dimana reformasi ini tidak memerlukan kiat-kiat baru, cukup gunakan teknik manajemen kepegawaian yang telah ada namun dilaksanakan dengan baik. Mulai dari memberlakukan hukuman dan penghargaan kepada pegawai, perbaikan struktur kepangkatan dan struktur gaji disesuaikan dengan kompetensi pegawai, proses seleksi pegawai baru yang berdasarkan kualifikasi tertentu, pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan hingga promosi-promosi jabatan yang disesuaikan dengan kemampuan personil PNS-nya.

Tahap-tahap selanjutnya akan bergulir dengan sendirinya bila dua tahapan dasar ini telah berjalan dengan baik. Namun reformasi birokrasi ini hanya dapat terjadi manakala ada niatan baik dari para pemimpin di pemerintahan untuk benar-benar mewujudkan impian pemerintahan yang baik dan bersih. Akhirnya semua berpulang kepada manusianya, kepada manusia-manusia yang mempunyai kekuatan untuk menggerakkan manusia lainnya.

Wednesday, September 27, 2006

Politik napsu para politisi

Minggu-minggu ini para politisi sibuk berwacana pemilihan presiden untuk tahun 2009. Bahkan ada partai yang sudah mengusung nama calon Presiden RI 2009 (cuih gak tau malu wuek). Masih 3 tahun lagi, tapi rupanya para politisi sudah kebelet ingin berkuasa. Padahal permasalahan bangsa Indonesia saat ini masih banyak yang lebih penting didahulukan untuk dipikirkan dan diselesaikan bersama-sama, daripada memikirkan pencalonan presiden tahun 2009.

Terlihat dengan jelas napsu para politisi untuk berkuasa hanya sebagai jalan bagi pemenuhan hasrat keserakahan diri. Juga jelas sekali terlihat tidak adanya niat untuk membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dari politisi-politisi itu. Pokoknya berkuasa titik.

Apa jadinya bangsa Indonesia jika nantinya dipimpin oleh orang-orang seperti ini ? bisa-bisa semakin terpuruk saja.

Semoga saja rakyat Indonesia mengetahui mana calon presiden yang cuma napsu berkuasa saja dan calon presiden yang memang ingin membangun bangsa. -antz-

Friday, September 22, 2006

PGPNS ala PNS

PGPNS aslinya adalah kependekan dari Pangkat dan Golongan Pegawai Negeri Sipil. Namun istilah PGPNS sering juga diplesetkan menjadi Pintar dan Goblok Penghasilan Nya Sama.

Plesetan tersebut tidak serta merta muncul tanpa juntrungan. Plesetan itu muncul karena memang kondisi PNS dapat dikatakan hampir seperti itu.

Tengoklah peraturan kenaikan pangkat reguler. Setiap PNS apakah itu rajin, pintar, cekatan dan bermutu tinggi atau malas, bego, lamban dan berkualitas rendah setiap empat tahun otomatis pangkatnya naik sampai plafon pendidikan formalnya.

Atau tengok pula kenaikan pangkat dan golongan lewat jabatan fungsional yang sesungguhnya diperuntukkan sebagai indikator keahlian dan kecakapan. Pada kenyataannya jabatan fungsional banyak yang akhirnya hanya dipakai akal-akalan untuk kenaikan pangkat dan golongan yang dipercepat.

Banyak sekali PNS yang berkualitas buruk dapat naik pangkat terus setiap dua tahun sekali karena angka kredit jabatan fungsionalnya selalu terpenuhi dengan spektakuler. Dilain pihak ada PNS yang berkualitas tinggi malah mendapat kesulitan memperoleh angka kredit dalam jabatan fungsionalnya akibat berbagai peraturan yang tidak tepat.

Hal-hal seperti tersebut diatas secara sistematis akan menurunkan mutu para PNS berkualitas. Sebab hukum alamnya adalah : hal yang negatif lebih cepat menyebar dan berpengaruh daripada hal yang positif. Semangat individu untuk maju bisa terkikis bila tidak mendapatkan ganjaran yang layak dalam jangka waktu lama.

Untuk mengatasi hal-hal buruk sistem PGPNS yang ada saat ini, kita tidak memerlukan resep baru ataupun gebrakan baru. Cukup kita ikuti saja aturan manajemen yang paling sederhana : hukuman dan ganjaran yang dilakukan secara tepat.

Selain itu yang harus diprioritaskan adalah perbaikan struktur gaji dan metode kenaikan pangkat yang mencerminkan keahlian PNS. Keahlian PNS sangat beragam, dan setiap jenis keahlian telah ada pakem dan etiknya, sehingga tidak perlu membuat yang baru.

Dan pimpinan pun harus tega menilai jelek atau bahkan memecat PNS yang memang berkualitas sangat buruk, yang tentu telah melalui proses dan prosedur yang ditetapkan. Bila tetap mempertahankan sifat “kasihan”, maka para PNS tidak akan terpicu untuk maju. -sugianto-

Thursday, September 21, 2006

PNS lagi PNS lagi

Baru-baru ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) melontarkan wacana pengurangan PNS. Saya kira para PNS tidak perlu risau sebab ini cuma wacana, belum akan ada tindakan apa-apa. Saya menyebutnya wacana, karena memang kelihatannya Menpan tidak akan membuat hal itu terwujud. Mengapa ?

Popularitas ? mungkin. Tetapi yang jelas kalau memang Menpan akan mewujudkan rencana itu tentu Menpan akan tampil dengan suatu program nyata yang dapat langsung diterapkan. Ingat Menpan adalah eksekutif. Seorang eksekutif adalah unsur pimpinan yang dapat menggerakkan pelaksana untuk melaksanakan sebuah kebijakan atau program. Menpan bukan pengamat PNS, tapi menterinya para PNS, darimanapun ia berasal. Selain itu sudah sangat sering Menpan berwacana mengenai kualitas sdm PNS, yang tidak kunjung dibuatkan program untuk mengatasi permasalahan dan menyelesaikannya.

Banyak hal yang masyarakat tidak ketahui tentang PNS, yang diketahui oleh masyarakat hanyalah pelayanan yang buruk, birokrasi yang tidak efektif, korupsi, malas, dan lain-lain. Padahal tidak semua PNS berlaku tidak terpuji. Walaupun persentasenya kecil, PNS berkualitas yang mempunyai integritas tinggi tetaplah ada.

Mengapa lebih banyak PNS yang tidak berkualitas ? ini tentunya berpulang pada sistem organisasi PNS. Dan tidak kalah penting adalah gaji yang rendah. Seperti saya kemukakan dalam tulisan tentang PNS sebelumnya, dimana gaji rendah tidak akan menarik minat putra-putra terbaik bangsa untuk mengabdi sebagai PNS.

Apakah orang-orang berkualitas tinggi akan ada yang berminat menjadi PNS bila golongan tertinggi (IV-e) dengan masa kerja lebih dari 30 tahun menerima gaji tertinggi Rp. 2,5 juta saja ? Jujur saja, walaupun orang tersebut mempunyai integritas tinggi dan tidak materialistik, tetap saja dia membutuhkan gaji yang layak untuk dapat menghidupi keluarganya dengan baik. Jadi jangan harapkan input berkualitas buruk menghasilkan output berkualitas premium, paling pol ya kualitas cukup lah.

Sebagai menteri, saya kira tidak layak Menpan berwacana yang tidak produktif. Lebih baik Menpan memfokuskan pada penyelesaian permasalahan di tubuh organisasi PNS secara tahap demi tahap. Porsi pekerjaan seorang menteri adalah menyelesaikan masalah, sedangkan berwacana adalah porsi pekerjaan para pengamat PNS.

Maaf pak Menpan saya hanya mengingatkan saja. -sugianto-

Monday, September 18, 2006

Kehebatan seorang anak

Hari ini sudah hari keempat Cleoputri masuk sekolah di TK Regina Elena. Walaupun dari rumah dia sangat antusias untuk sekolah, tetapi sampai di sekolah dia malah menangis. Hal yang wajar dalam penyesuaian lingkungan. Lambat laun dia akan belajar beradaptasi dengan lingkungan barunya. Maklum ini adalah kegiatan luar rumah pertama dalam hidupnya.

Kakaknya pun walau sudah 3 tahun bersekolah di TK, saat memasuki lingkungan baru sekolah dasar cukup tertekan. Lagi pula ini sekolah dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa ibu, karena kami sekolahkan mereka di sekolah negeri di Roma, Italia. Dan tentunya dengan bahasa pengantar sehari-hari bahasa Italia.

Dua tahun yang lalu, saat kami baru saja pindah ke Roma, anak kami yang tertua masih SD kelas 1. Terlihat sekali dia tidak bisa bermain dengan teman-temannya karena tidak mengerti bahasa dan kebiasaan anak-anak disini. Tetapi semua itu hanya berlangsung sebentar saja. Setelah itu mereka dengan kecepatan amat menakjubkan dapat beradaptasi dengan bahasa dan budaya lingkungannya.

Sungguh mengagumkan proses perkembangan anak-anak. Banyak hal yang dapat dipelajari orang dewasa dari proses tumbuh dan berkembangnya anak-anak. -sugianto-

Sunday, September 17, 2006

Sang Raja keseleo lidah

Setiap pemimpin harus terus mengasah ilmu pengetahuannya dan mengaktualkan diri dengan terus melebarkan wawasannya. Bila tidak, maka kejadian seorang pemimpin (yang katanya) besar bisa keseleo lidah dikarenakan kekurang-wawasannya.

Baru-baru ini Paus Benediktus XVI mengalami keseleo lidah karena wawasan sang Paus terhadap apa yang diucapkannya sangat kurang memadai, kalau tidak mau disebut tidak memadai.

Terlepas dari niat sang Paus untuk menyinggung atau tidak terhadap umat lain, yang jelas dengan adanya keseleo lidah yang fatal ini, respek dunia terhadapnya menjadi berkurang. Mengurangi rasa hormat dan penghargaan terhadapnya karena ketidak-bijakannya menyikapi isu-isu yang ada di sekelilingnya. Terlebih lagi isu yang sedang keruh.

Pemimpin sejati datang dengan kebijakan. Pemimpin yang dikondisikan (keadaan) datang dari pengkultusan. Pengkultusan bermuara pada hal-hal diluar diri pemimpin, dimana sesungguhnya sang pemimpinnya sendiri tidak mempunyai sikap kepemimpinan yang kuat. Akibatnya perintahnya, ucapannya, tindakannya sering tidak mencerminkan kebijakan dan kealamiahan.

Dalam buku-buku kepemimpinan, pemimpin adalah setiap individu dengan sikap kepemimpinan bukan atasan, komandan, panglima, ketua, direktur, kepala, presiden, menteri dan lain-lain jabatan formal. -antz-

Monday, September 11, 2006

Berawal di akhir dan berakhir di awal

Membaca berita tentang mantan Presiden RI ke-3 Prof. B. J. Habibie yang mendapatkan gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Hasanuddin, membuat saya teringat dengan program beliau yang sangat populer :

Berawal di akhir dan berakhir di awal

Sebuah program evolusi empat tahapan alih teknologi yang dipercepat, yang sangat brilian. Walaupun model program semacam ini sulit dipahami oleh nalar awam yang lebih memprioritaskan komplain, keluhan, protes dan tuntutan atas kemalasan dan ketamakan dalam hidupnya.

Empat tahapan alih teknologi itu: (1) memproduksi mesin/teknologi berdasarkan lisensi utuh dari industri mesin/teknologi negara lain; (2) memproduksi mesin/teknologi secara bersama-sama dengan industri negara lain; (3) memproduksi mesin/teknologi dengan mengintegrasikan seluruh teknologi dan sistem yang paling mutakhir yang ada di dunia menjadi sesuatu yang sama sekali baru / didesain baru; dan (4) memproduksi mesin/teknologi berdasarkan hasil penelitian/riset kembali dari awal.

Terlepas dari pro dan kontra atas program tersebut, nyatanya saat itu Habibie telah dapat mewujudkan karya besar dengan menciptakan N250, sebuah pesawat berkapasitas 50-60 tempat duduk, yang murni didesain dan dibuat oleh putra-putra terbaik bangsa Indonesia yang tergabung dalam PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara).

Satu hal yang selalu menjadi kendala dalam melaksanakan program alih teknologi sampai pada sebuah penelitian awal adalah dana yang besar dan hasil yang tidak segara tampak.

Penelitian dari awal pastilah memakan waktu yang lama dan sumberdaya yang tidak sedikit. Selain itu hasil penelitianpun tidak selalu bisa segera dihasilkan atau dimanfaatkan.

Tengoklan penelitian-penelitian didunia mulai dari lampu listriknya Thomas Alfa Edison hingga penelitian virus flu burung. Semua penelitian tersebut memakan waktu yang lama disertai biaya yang besar. Belum lagi kekuatan fisik dan mental yang harus dijaga oleh para penelitinya.

Dalam budaya ingin serba cepat saat ini (budaya instan), penelitian awal semacam itu menjadi kegiatan yang kurang populer, tidak mendapatkan perhatian dari pimpinan dan bahkan dianggap tidak ekonomis karena produknya belum layak dipasarkan atau masih banyak bug, misalnya.

Namun dalam jangka panjang, negara atau institusi atau perusahaan yang secara konsisten melakukan penelitian, akan menjadi produsen pemenang dalam persaingan global. Sedangkan negara atau institusi atau perusahaan yang mengabaikan penelitian, apapun alasannya, akan menjadi pecundang dan hanya menjadi target pasar.

Bila anda adalah seorang pemimpin sebuah elemen lembaga negara atau sebuah institusi atau perusahaan, manakah yang akan anda pilih, menjadi produsen pemenang ataukah menerima kekalahan dan hanya menjadi target pasar ? -sugianto-

Friday, September 01, 2006

Tak ada makan siang gratis

Seusai rapat staf yang garing siang tadi, saya jadi teringat pepatah “tidak ada makan siang gratis”. Pepatah ini sering sekali terdengar bila ada ajakan untuk melakukan sesuatu yang membutuhkan pengorbanan. Ya, memang didunia ini tidak ada yang gratis, semuanya butuh sesuatu untuk ditukar sebagai harganya.

Ingin pandai, harganya adalah ketekunan belajar. Ingin kaya, harganya adalah kecerdasan dalam bekerja. Ingin mencapai puncak, harganya adalah pendakian. Dan banyak contoh lainnya.

Arti yang sama dalam pepatah lain yang tak kalah populer yaitu

Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian
Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian

Untuk mencapai keberhasilan selalu membutuhkan perjuangan, betapaun kecilnya. Dan biasanya perjuangan ini membuat fisik dan mental “menderita”. Bila kita tidak mau membayar harga pengorbanan dan perjuangan tersebut maka kita hanya akan mendapatkan default-nya atau kondisi apa adanya alias gagal.

Istilah default dalam setting sebuah mesin adalah setting dari pabriknya, yang terjemahan dari bahasa Inggrisnya adalah kegagalan. Artinya bila kita gagal men-set mesin itu, tekanlah reset maka setting mesin kembali menjadi default, asli dari pabriknya.

Kondisi asli manusia adalah miskin, dibawah dan bodoh, ingat kan waktu lahir kita tidak membawa emas batangan, tidak bisa bicara sepatah katapun dan tentunya kalau tidak digendong kita akan jatuh.

Namun seringkali kita lupa bahwa semua keinginan kita tentu harus diperjuangkan dengan pengorbanan, bukan hanya diomongkan atau diimpikan saja.

Misalnya bila kita menginginkan rumah kita lebih nyaman dan indah, maka perlu dilakukan perbaikan. Masa-masa perbaikan adalah masa-masa tidak nyaman, kotor penuh debu, air kadang mampet, tidur tidak enak dan sebagainya. Tetapi kondisi seperti itu tidak akan selamanya. Setelah melewati masa-masa perbaikan, rumah kita akan menjadi nyaman dan indah. Terbayar sudah harga pengorbanan selama masa perbaikan.

Satu catatan saja, sabar dan iklas selama masa perbaikan rumah tersebut, selalu berpikir positif serta berorientasi solusi. Karena menggerutu, mengeluh, komplain, marah, ngambek tidak akan menyelesaikan masalah atau memperbaiki keadaan. Apalagi bila kita seorang pemimpin (entah pemimpin besar atau pemimpin lingkup kecil) ataupun kader pemimpin.

Sukses selalu !
-sugianto-