Monday, August 31, 2009

Tanah subur, kenapa impor ya ?

Membaca berita di Kompas akhir-akhir ini tentang berbagai impor bahan pangan, saya jadi teringat lagu Koes Plus tahun 70-an yang liriknya seperti ini :

Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu

Tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

Ya, tanah air kita-Indonesia memang subur dari dulu sampai sekarang, sehingga membuat ngiler para penjajah untuk membuat koloni di tanah air kita. Bayangkan tongkat dan batu jadi tanaman, ikan dan udang menghampirimu. Kail dan jala bisa menghidupimu !

Tapi itu duluuuuu. Seiring dengan waktu, walaupun tanah kita tetap subur, tapi kalo tidak digarap dengan baik ya akhirnya kita harus impor kedele, beras, gula, jagung, daging, bahkan air minum.

Ironis sekali ya.

Lautan, danau dan sungai sudah dikaplingi, ditumbuhi rumah-rumah ilegal, jadi tempat pembuangan sampah akhir dan kalau perlu dijadikan daratan. Jadi boro-boro menghampiri, ikan dan udang malah mati gak bisa hidup. Kalau sudah begitu apakah kail dan jala masih bisa menghidupimu ?

Tanah nganggur pasti dilirik untuk dijadikan area bisnis (toko atau mall gitu loh), minimal diaspal atau diplester semen. Kayu dan batu bukan jadi tanaman, tapi jadi bangunan la yaw.

Kalau masih nekat jadi petani atau nelayan, siap-siap saja hidup kere dan miskin terjerat tengkulak, hutang, mafia, pungli dan biaya hidup yang untuk hidup sederhana saja susah. Gimana mau produksi hasil pertanian berkualitas tinggi dengan harga murah ? Kalau jalur distribusi dalam negeri begitu mahal, harga pupuk dan mesin pertanian mahal dan hari panen adalah hari anjlognya harga.

Dalam acara Mario Teguh Golden Way, dikatakan bahwa bukan besar kecilnya batu yang bisa melukai, tapi kecepatan dan ketepanan lemparannya. Dengan kata lain orang yang melakukannyalah yang menentukan bukan batunya.

Begitu juga dengan tanah air kita-Indonesia, bukan subur atau tidak tanahnya, tapi penduduknyalah yang menentukan gemah ripah loh jinawi atau tidaknya. -antz-

Tuesday, August 18, 2009

Kaget tiket PNS seharga seratus juta rupiah

Hari jumat 14/8 yang lalu saya baca artikel di Kompas berjudul "PNS" oleh Jaya Suprana. Diceritakan bahwa beliau terkejut atas masih adanya adat istiadat pungli atau uang pelumas untuk menjadi PNS (pegawai negeri sipil alias pegawai pemerintah). Apalagi disebutkan angkanya seratus juta rupiah.

Saya sebagai PNS juga terkejut.

Kenapa ?

pertama, yang menceritakan kejadian masuk PNS dengan uang pelicin itu adalah Jaya Suprana, seorang tokoh yang tentunya tidak akan bercerita ngarang. artinya kejadian itu ada.

kedua, seratus juta rupiah untuk menjadi PNS sangat tidak masuk akal. setidaknya buat saya. karena sebagai PNS tok (maksudnya gak punya bisnis sampingan dan tidak tugas keluar negeri) untuk mendapatkan uang seratus juta rupiah itu membutuhkan waktu bertahun-tahun menabung dengan kesehariannya menganut asas hemat.

saya tidak mengada-ngada, lihat aja tabel gaji terakhir terbitan tahun 2009. untuk seorang PNS dengan jabatan fungsional tertentu dengan golongan IV-e masa kerja 32 tahun (ini udah paling top) digaji pokok rp. 3.400.000,- katakanlah total penghasilan sekitar 8 jutaan rupiah per bulan. nah gimana yang golongannya lebih rendah dan tahun pengabdiannya lebih sedikit. pastinya penghasilannya lebih kecil kan.

kawan saya bilang, eit jangan boong! jangan sok suci lu ya! banyak tuh PNS yang bisa punya rumah mewah, mobil keren, tanah bejibun, kebon berhektar, bisa sekolahin anak di luar negeri hanya dengan bea siswa ortunya yang PNS.

hhmmmm... saya juga gak begitu tau nih. mangkanya saya kaget baca artikelnya pak Jaya yang bilang ada seseorang yang rela keluar seratus juta rupiah untuk jadi PNS. karena saya sendiri gak pernah tuh dipalakin uang saat masuk PNS. dan di departemen saya juga kayaknya gak bisa tuh pake pelicin, karena pake e-proc.

menurut pengalaman saya, PNS yang bisa seperti itu tentunya cuman sedikit dari total jumlah PNS yang mayoritas hidup pas pasan. Kalo anak si bapak yang nyogok seratus juta rupiah itu sudah jadi PNS apakah bisa dijamin dia menjadi segelintir PNS yang bisa menghasilkan 100 juta rupiah per bulan ?

Kalo saya sih mendingan dipake bisnis aja.-antz-

Friday, August 14, 2009

Mereka membayar harganya

Sabtu sore yang panas, Johan diminta oleh sahabatnya Made Sitanggang untuk gantiin dia "melihat" orang sukses berbicara di Hotel Ma Erot. Katanya tiketnya udah dibeli sayang kalo gak dipake.

Tadinya Johan ogah-ogahan datang ke Hotel Ma Erot, tapi ternyata orang-orang sukses itu memberikan testimoni (ini artinya apa ya ?) tentang kesuksesannya dengan sangat menarik. Tanpa sadar Johan mencatet inti omongan mereka yang kira-kira salah satunya seperti ini :

Pada awalnya -sebelum mereka sukses- mereka bekerja lebih keras dari orang kebanyakan.
Sambil memperlihatkan grafik kerja efektif orang kebanyakan yang hampir sama rata misalnya bekerja efektif 20-30 jam seminggu. Kemudian memperlihatkan grafik kerja efektif orang-orang yang sukses (maksudnya yang seperti mereka gitu loh) yang jika disandingkan grafiknya menonjol cukup signifikan, karena mereka kerja efektif sekitar 60-70 jam seminggu.

Mereka kasih contoh aktor laga Jet Li yang sudah berlatih Wu Shu sejak umur 7 tahun dan terus menerus berlatih. Juga bintang tenis putri Steffi Graft yang sebelum masa jayanya terus menerus berlatih walaupun tidak sedang menghadapi pertandingan. Dan para bintang dunia lainnya.

Para bintang itu berani berkorban menunda waktu bersenang-senangnya untuk terus berlatih mengasah kemampuannya. Bahkan sering mereka mengorbankan waktu untuk lebih lama bersama orang yang dicintainya atau waktu untuk menekuni hobinya. Mereka juga berjuang mengatasi rasa jemu dan malas dalam jiwanya.

Untuk mencapai sukses, mereka berani membayar harganya. Harga yang tidak hanya berbentuk uang, namun juga hati dan pikirannya.

Bila seorang atlet hanya berlatih saat akan ada pertandingan, tentunya si atlet tidak akan pernah menjadi seorang bintang kelas dunia.