Sunday, August 27, 2006

Pilihan

Saat sedang menyapu taman di apartemen kami yang terletak di lantai dasar, anak tertuaku bertanya “Pah, senang nggak punya taman ?”. “Senang. Memangnya kenapa ?” “Kan repot setiap hari harus dibersihin.” lanjutnya.

Akhirnya sambil membersihkan taman kami mendiskusikan tentang menjalani kehidupan adalah membuat pilihan. Setiap manusia berkuasa untuk menentukan pilihan atas setiap tindakannya masing-masing. Manusia dapat memilih senang dan gembira atau memilih susah dan sedih. Setiap pilihan, baik itu yang positif maupun yang negatif, senang maupun susah, akan ada kewajiban dan konsekuensinya.

Memilih untuk memiliki rumah adalah kesenangan, tetapi ada kewajiban untuk memelihara, membayarkan pajak, mengisi dengan perabotan dsb. Memiliki rumah adalah juga kerepotan/kesusahan karena harus memenuhi kewajiban pajaknya, memelihara dan mengisi dengan perabotan.

Memilih untuk memiliki anak adalah kesenangan, tetapi ada kewajiban untuk melindungi dan memelihara hingga tumbuh menjadi manusia berguna. Memiliki anak adalah juga kerepotan/kesusahan karena ada kewajiban untuk melindungi dan memelihara hingga tumbuh dewasa.

Dan masih banyak contoh pilihan hal-hal lainnya yang bisa menjadi sebuah kesenangan atau sebuah kerepotan. Itu adalah pilihan masing-masing individu.

Jika memilih ‘susah/repot’, kewajiban dan konsekuensinya sama dengan yang memilih ‘senang’, pastilah kita akan selalu memilih senang. Tetapi seringkali masalah pilihan ini tidak jelas dan tidak otomatis dapat diketahui. Terkadang sesuatu yang kelihatannya senang pada awalnya tetapi mendapati kesusahan diakhirnya. Seperti misalnya bila anak-anak dibiarkan dengan kesenangannya nonton televisi sepanjang hari, pada saat dewasa menjadi kurang produktif, dan akhirnya hidup menjadi beban buat dirinya dan orang lain.

Terkadang pula hal-hal yang diawalnya terasa sulit dan menyakitkan tetapi pada akhirnya akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan. Seperti misalnya saat berlatih menari, pada awalnya, untuk melakukan olah tubuh dan mempunyai insting penari dibutuhkan latihan keras yang membuat badan pegal, capek dan stress. Tetapi setelah melalui beberapa bulan latihan yang baik, tarian yang dibawakan menjadi luwes dan menarik. Selain itu mentalpun menjadi terasah lebih baik dalam menghadapi tekanan.

Mengutip pemikiran para tokoh besar dunia : upayakan untuk selalu berpikir positif, karena apa yang kita pikirkan dan gambarkan dalam pikiran kita, lebih sering itulah yang akan terwujud. What you think is what you get. -sugianto-

Tuesday, August 15, 2006

Gaji PNS

Pemerintah berencana menaikkan gaji PNS pada tahun depan. Setiap kenaikan gaji atau tunjangan bagi PNS tentu akan menjadi sorotan publik karena melibatkan uang negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Sebuah rencana yang patut disambut dengan gembira terutama bagi kalangan PNS dan telah selayaknya pula diimbangi dengan peningkatan prestasi kerja.

Terlepas dari pro dan kontra atas kenaikan gaji tersebut, sesungguhnya elemen gaji, walaupun bukan segalanya, akan menentukan kualitas pegawai yang berkiprah di dalamnya.

Tengoklah saat diadakan penerimaan calon PNS. Ribuan orang melamar untuk menjadi PNS, tetapi dari ribuan calon itu, berapa banyak yang berkualitas unggul ? Dalam kenyataannya mereka yang bertarung memperjuangkan status PNS lebih banyak (tidak semua) yang telah tersisih dalam kompetisi di dunia swasta atau mereka yang memang menghendaki kehidupan yang adem ayem tanpa kompetisi karier walaupun gaji pas-pasan.

Mengapa orang-orang dengan kualitas itu yang mayoritas menghendaki status PNS ? Karena orang-orang dengan kualitas unggul tentu tidak mau memasuki sebuah pekerjaan dengan gaji rendah dan iklim kompetisi karier yang tidak sehat. Mereka menyadari bahwa kualitas mereka layak mendapatkan gaji tinggi dan kompetisi yang fair. Mereka selalu berorientasi bahwa prestasi akan menentukan karier dan besaran gaji.

Di departemen tertentu kompetisi yang fair mulai dilaksanakan walaupun dengan intensitas yang masih rendah. Kompetisi karier yang fair masih terhambat beberapa kendala peraturan lama yang berlaku di PNS seperti senioritas, kenaikan golongan yang hanya berdasarkan lamanya bekerja dan pemecatan yang hampir mustahil dilaksanakan bila hanya karena alasan kinerja buruk dan tentu saja karena gaji yang rendah.

Beberapa karyawan di departemen tertentu termotifasi secara individu untuk berprestasi dan meningkatkan kompetensinya karena di departemennya mulai menerapkan kompetisi yang fair dan tentunya karena ada insentif tunjangan finansial yang lebih besar.

Agar orientasi prestasi dan peningkatan kompetensi karyawan tidak tergantung hanya dari kemauan individu, perlu diadakan mekanisme baru dalam struktur gaji, struktur kepangkatan serta promosi yang lebih mengakomodir prestasi dan kompetensi. Sehingga setiap karyawan akan dipaksa meningkatkan prestasi dan kompetensinya untuk mendapatkan promosi ke karier yang lebih tinggi dan gaji yang lebih besar.

Model jabatan fungsional sebagian PNS, secara konsep diatas kertas, merupakan rintisan kearah kompetisi yang fair. Tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak kendala yang memerlukan penyempunaan dalam segi aturan main dan tentunya tunjangan finansial sebagai insentifnya.

Bila struktur gaji PNS sudah “layak” dan model kompetisi karier telah fair, otomatis putra-putra terbaik bangsa akan berlomba-lomba pula melamar menjadi PNS. Bila para PNS terdiri dari putra-putra terbaik bangsa, otomatis pelayanan publik yang menjadi inti pekerjaan PNS akan menjadi semakin baik. Dan pada akhirnya membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kompetitif pula di percaturan global. -antz-

Sunday, August 13, 2006

Kemerdekaan Indonesia dan standar minimal

Beberapa hari lagi bangsa Indonesia akan memperingati hari Kemerdekaannya. Dengan memperingati hari kemerdekaan, diharapkan bangsa Indonesia akan mengingat sejarah pada saat perang kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan Belanda. Dengan mengingat sejarah tersebut diharapkan pula bangsa Indonesia menaruh hormat dan belajar dari sejarahnya sendiri untuk mencapai kemajuan demi mengapai cita-cita yang dicanangkan saat merebut kemerdekaan negara Indonesia dari para penjajahnya.

Saat ini, hari kemerdekaan Republik Indonesia diperingati dengan upacara bendera, pesta rakyat, olah raga bersama, memasang umbul-umbul dan bendera di jalan-jalan atau rumah-rumah penduduk, dan untuk kalangan diplomat ada resepsi diplomatik. Semuanya bermuara untuk tujuan yang sangat mulia dari sebuah peringatan hari Nasional bangsanya.

Setelah 61 tahun sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia telah mengalami berbagai kemajuan fisik yang sangat pesat. Namun kemajuan mentalitas sebagai bangsa besar yang telah merdeka masih perlu terus diperjuangkan.

Salah satu perjuangan mengangkat mentalitas bangsa Indonesia telah diperlihatkan melalui ketegasan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan tetap memberlakukan standar ujian nasional sebagai mutu pendidikan dengan nilai minimal 4,5 di tahun 2006 dan nilai minimal 5 di tahun 2007. Bila siswa-siswa tidak dapat melewati nilai standar tersebut maka siswa tersebut harus mengulangi belajarnya hingga mencapai nilai standar minimal itu dan bukan dengan menurunkan standarnya sehingga bisa dilewati oleh semua siswa.

Dengan skala 1 sampai dengan 10, sesungguhnya standar nilai minimal 5 sangatlah kecil karena bila diterjemahkan dengan kata-kata berarti kurang dari cukup. Walaupun begitu protes dari berbagai kalangan dan komponen masyarakat sangat banyak. Apakah mereka menghendaki standar nilai minimal 0 (nol) ? Bila benar begitu, buat apa susah payah menyelenggarakan berbagai ujian, tes dan seleksi disekolah dari SD sampai Perguruan Tinggi ?

Tidak perlulah membandingkan dengan standar negara lain, cukup dengan pertimbangan akal sehat dan kemauan politik yang baik untuk kemajuan bersama, maka standar nilai minimal untuk berbagai ujian, tes dan seleksi perlu dilaksanakan dengan baik. Hal ini akan memberikan dampak sangat besar dalam perkembangan mentalitas bangsa Indonesia dikemudian hari. Sebab pengaruh negatif lebih cepat menyebar dari pengaruh positif. Seperti dalam hukum alam ini, menjadi miskin dan gagal tidak memerlukan energi dan usaha, tetapi menjadi sukses dan kaya memerlukan energi dan usaha.

Contoh kongkrit : seorang karyawan dengan kinerja dan prestasi buruk tetapi tetap mendapatkan promosi dan mendapatkan gaji tinggi disamakan dengan karyawan yang berprestasi akan memberikan contoh buruk buruk terhadap organisasi karena akan menumbuhkan sikap apatis karyawan yang berkinerja baik dan berprestasi. Iklim “baik atau buruk sama saja” membuat karyawan akan memilih yang paling ringan dan tidak memerlukan energi untuk mendapatkannya.

Begitu pula bila menurunkan syarat minimal kelulusan dalam proses seleksi hanya demi mengakomodir orang-orang tertentu yang sesungguhnya sudah tidak mampu lagi untuk pekerjaan tertentu dengan berbagai alasan akan membuat oragnisasi dalam lampu merah.

Dalam dunia pegawai negeri (PNS) sangat banyak dijumpai contoh seperti itu dan telah menjadi penyakit organisasi yang akut. Perlu terobosan besar dan keberanian pemimpin organisasi untuk dapat melepaskan diri dari penyakit ini.

Majulah Indonesia………
Merdeka !!!

Saturday, August 05, 2006

Kriptografer instant

Sesi kedua seminar imajiner tentang “Pendidikan Kripto Berkelanjutan” yang dibawakan oleh Dadang Made Sitanggang, Direktur Sekolah Tinggi Kriptologi Bandung (STKB), rupanya sangat menarik sehingga banyak pertanyaan diajukan.

Willy Sahaeta, kriptografer dari Umbria, menanyakan mengenai fenomena kriptografer instant yang saat ini banyak berkiprah di posisi-posisi penting profesi kriptografi. Hal ini menurut Willy dalam jangka panjang akan merusak profesi kriptografer secara keseluruhan.

Willy mencontohkan bahwa saat terjadi pergeseran posisi sistem transmisi kripto, lebih dari sepuluh temannya yang semuanya dikategorikan oleh Willy adalah kriptografer instant, bertanya kepadanya. Walaupun Willy dengan suka rela menjelaskan, tetapi ketidak-mengertian dan ketidak-pahaman mereka pada pekerjaan pokok dan dasar sebagai seorang kriptografer sangatlah mengherankan dan sulit diterima secara nalar. Tidak terbayangkan apabila mereka mendapat pekerjaan (sebagai kriptografer) yang membutuhkan pemikiran lebih rumit, strategis atau taktis.

Willy mengibaratkan seperti seorang sopir yang mempunyai SIM (dengan cara instant), bekerja sebagai sopir, kemudian tidak dapat mengendarai mobil dengan baik. Sopir tersebut tidak mengerti bagaimana pindah persnelling, tidak mengerti menyalakan lampu sign. Mendengar hal itu para peserta lain bertepuk tangan dan tertawa.

Moderator Romi Sukaryo menjelaskan bahwa yang dimaksud kriptografer instant oleh Willy adalah para kriptografer yang dididik sekitar 6 bulan saja. Sehingga pemahamannya dalam pengamanan informasi dan kriptografi masih perlu ditingkatkan.

Dadang Made Sitanggang, sebagai salah seorang yang juga ikut terlibat dalam keputusan pelatihan kriptografer jenis ini (yang disebut instant), menjelaskan bahwa pada mulanya pendidikan dan pelatihan kriptografer ini dirancang untuk tiga tahapan, (1) pendidikan tahap pertama selama 6 bulan; (2) magang/bekerja di bagian kripto selama minimal 1 tahun; (3) pendidikan dan pelatihan tahap kedua selama 6 bulan.

Setelah lulus dari tahap kedua ini, mereka masih perlu bekerja dahulu di bagian kripto instansi pusat selama 2 tahun, selain sebagai pembinaan dari yang lebih senior juga untuk lebih memantapkan kemampuannya. Setelah itu barulah mereka bisa dilepas sebagai kriptografer mandiri.

Bila saat ini mereka yang baru mendapatkan pendidikan tahap pertama kemudian dianggap telah menjadi seorang kriptografer mandiri, maka ini perupakan pemahaman yang keliru. Dan memang bisa dimengerti bila akhirnya banyak kriptografer (instant) ini yang tidak memahami tugas-tugas pokok kriptografer.
Selain itu memang benar pemikiran saudara Willy bahwa pemahaman mengenai keamanan informasi dan kriptografi yang minim akan menjadi bumerang pada profesi kriptografer secara keseluruhan di instansi yang mempekerjakannya.

Mendengar pertanyaan dan penjelasan di sesi ini, Johan jadi teringat saat restrukturisasi di departemennya dulu. Saat itu karena keterpaksaan, Johan meminta stafnya untuk pindah jalur dengan meningkatkan status mereka menjadi kriptografer. Walaupun Johan telah diberitahu oleh pihak pendidikan bahwa banyak diantara mereka sebetulnya tidak kompeten, tetapi karena “tuntutan keadaan” maka Johan memaksa (dengan berat hati) untuk tetap menjadikan mereka kriptografer (instant juga tidak apa-apa).

Setelah 5 tahun berlalu sejak pertama kalinya para kriptografer (yang disebut instant) berkiprah di organisasinya, Johan memang melihat banyak sekali “gejolak” di profesi kriptografer baik akibat stimulus internal maupun ekternal. Bukan gejolak karena dinamika positif perubahan organisasi tetapi gejolak seperti yang dicontohkan oleh Willy. -antz-

Wednesday, August 02, 2006

Menuju spesialis

Iseng-iseng saya mencari di Google dan Yahoo dengan kata kunci pencarian “kriptografi”, karena saya ingin mencari situs yang berhubungan dengan kriptografi dan ditulis oleh orang Indonesia. Dari hasil pencarian tesebut saya belum menemukan situs tentang kriptografi yang ditulis oleh para mahasiswa/alumni Akademi Sandi Negara atau Sekolah Tinggi Sandi Negara.

Dari pencarian itu dan juga atas saran senior saya di Akademi yang sangat perhatian (bukan prihatin loh) dengan kemajuan kriptografi di Indonesia, saya berniat untuk membuat web blog khusus kriptografi. Begitu saya niatkan untuk bikin web blog yang khusus, berarti saya juga harus menjadi spesialis. Ternyata untuk menjadi spesialis tidak mudah, banyak bacaan harus saya baca dan banyak materi harus saya pelajari, dan yang terpenting saya harus lekat dengan praktek kriptografi itu sendiri.

untuk menuju spesialis
langkah pertama harus diayunkan
jangan hirau aral menghadang
siapa tahu diujung jalan ada keceriaan.
http://hadiwibowo.wordpress.com/

-antz-