Friday, December 22, 2006

Hidup penuh keluhan dan tuntutan

roma, sugianto. Johan merasakan sekali perbedaan bila bertemu dengan orang sukses dan dengan orang yang tidak sukses. Tentunya ukuran sukses atau tidaknya tergantung dari sudut pandang dan sangat subjektif sekali. Yang Johan maksudkan dengan bertemu dengan orang sukses adalah bertemu dengan mantan Presiden RI BJ Habibie.

Saat bertemu dan mendengarkan Pak Habibie bicara, terasa sekali atmosfir positif dan optimisme yang sangat menginspirasi semangat untuk maju. Beliau bercerita panjang lebar mengenai harapannya terhadap Indonesia di masa depan. Saat Johan bertemu beliau, saat itu usianya 69 tahun. Namun beliau masih punya banyak sekali harapan, dan dengan optimis beliau bercerita mengenai harapannya itu. Salah satunya adalah di ulang tahunnya yang ke 70 beliau merencanakan akan menerbitkan sebuah buku. Saat ini bukunya yang kontroversial telah terbit.

Johan mengingat-ingat bahwa dalam buku-buku cerita sukses, diantaranya ditulis oleh Maxwell dan Dale Carnegie, disebutkan bahwa ciri-ciri orang sukses adalah mempunyai banyak harapan, memiliki sikap mental positif, optimis dan selalu berfikir solusi. Kebalikannya adalah ciri-ciri orang yang tidak sukses.

Dalam kehidupan sehari-hari dimana Johan bekerja, ciri-ciri orang sukses seperti disebut oleh Maxwell dan Dale Carnegie tidak sampai hitungan satu telapak tangan. Johan berusaha menyangkal hal tersebut dan ingin membuktikan bahwa itu tidak benar tapi apa yang Johan dengar :

- Duduk di ruang depan kantornya, Johan mendengar orang mengeluh tentang debu.

- Ditangga Johan bertemu seorang pegawai yang mengeluh tentang betapa bertubi-tubinya pekerjaan yang harus dia kerjakan, sementara upah lemburnya diputong.

- Di pos jaga Johan pun mendengar keluhan seorang pegawai yang minta libur.

- Dilain tempat, Johan pun mendengar seorang pegawai yang mengeluh tentang bawahannya.

- Lain tempat lagi Johan mendengar keluhan seorang pegawai tentang atasannya.

Ternyata dalam kehidupan nyata sehari-hari Johan banyak sekali menemui keluhan. Ada yang sekedar mengeluh dan tidak ingin penyelesaian. Ada juga yang mengeluh dengan tuntutan. Tentunya tuntutan agar orang lain menyelesaikan masalahnya.

Bekerja ditengah orang-orang yang lebih senang mengeluh dan menuntut, membuat Johan merasa perlu membentengi diri dengan membaca hal-hal yang menginspirasi. Johan tahu persis bahwa lingkungan negatif akan mudah mempengaruhi pikirannya bila tidak secara sadar dibentengi dengan hal-hal positif.

“Bila seseorang mulai menuntut dan mengeluh terhadap suatu masalah, maka akan semakin banyak masalah yang perlu dituntut dan dikeluhkan.” -zig ziglar-

Wednesday, December 06, 2006

Benarkah Poligami adalah Sunah ?

Untuk melawan pembodohan umat yang dilakukan oleh orang-orang yang mirip ulama, saya mempostingkan lagi artikel ini yang diambil dari http://servocenter.wordpress.com

---


Kompas, Senin 12 Mei 2003

Benarkah Poligami Sunah?

Faqihuddin Abdul Kodir

UNGKAPAN “poligami itu sunah” sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).

DALIL “poligami adalah sunah” biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi “hak penuh” laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, “poligami membawa berkah”, atau “poligami itu indah”, dan yang lebih populer adalah “poligami itu sunah”.

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan “poligami itu sunah”.

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan “poligami itu sunah” juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Nabi dan larangan poligami

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: “Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan “poligami itu sunah” sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks

Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.

Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: “Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain.” (Jâmi’a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan “poligami itu sunah”.

Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah

Monday, December 04, 2006

Smackdown sang tertuduh

Anak anda berperanggai sadis, itu karena smackdown
Anak anda sering bolos sekolah, itu karena smackdown
Anak anda terjatuh dan mati, itu karena smackdown
Anak anda sangat bandel dan susah diatur, itu karena smackdown
Anak anda bodoh dan malas, itu karena smackdown
Anak anda nyusahin orang tua terus, itu karena smackdown
Anak anda penganggur abadi, itu karena smackdown
Anak anda merusak barang milik tetangga, itu karena smackdown
Anak anda memperkosa anak orang, itu karena smackdown
Anak anda gak bisa cari duit, itu karena smackdown
Anak anda karir di pekerjaannya jelek, itu karena smackdown
Anak anda mencuri mangga di kebon orang, itu karena smackdown
Anak anda menjadi penjudi, itu karena smackdown
Anak anda menjadi bandar narkoba, itu karena smackdown
Anak anda membunuh orang tua, itu karena smackdown
Anak anda menjadi kriminal, itu karena smackdown
Anak anda lahir, itu karena smackdown !

Weleh… opo tuman. -antz-

Bila ikhlas Insya Alloh masuk surga !

Pertama kali saya baca kalimat “bila ikhlas Insya Alloh masuk surga!” adalah ucapan Amrozi, si pengebom, saat ditahan polisi, yang ditujukan kepada para korban aksi pembomannya.
Dan kedua adalah saat Aa Gym menikah untuk kedua kalinya (berpoligami), yang ditujukan kepada isteri pertamanya.

Kalimat itu mengandung kebenaran yang hakiki, sebuah kalimat yang sarat dengan beban moral dan religi.

Nah…… manusia-manusia cerdas, lihay dan jeli dapat memanfaatkan kalimat itu untuk kepentingannya. Bila kepentingan itu baik, maka hasilnya tentu baik pula bagi semua, namun bila sebaliknya, maka sekelilingnya akan menuai badai, seperti korban Amrozi (yang ini jelas dan gamblang) dan korban poligami (untuk yang ini, tentu yang menuai badai adalah isteri pertama dan anak-anak dari isteri pertamanya.

Berpoligami adalah keputusan individu dan juga tanggung jawab individu. Namun akan menjadi “isu umum” manakala menyangkut tokoh, pemimpin nasional, pejabat pemerintah, panutan masyarakat ataupun sekedar artis gurem. Seperti halnya isu perselingkuhan Anggota DPRR RI kita, yang telah menjadi isu nasional.

Menjadi hal yang sangat menyedihkan manakala keputusan poligaminya itu diklaimnya adalah Sunah Rasul. Dan yang bicara adalah yang katanya Kyai, Ulama, orang Alim, Santri atau sebutan-sebutan lain yang mentereng yang menandakan ketinggian ilmu Islam-nya. Saya katakan menyedihkan, karena secara langsung mereka telah menghina Rasullulloh SAW dengan perbuatannya yang diklaim mengikuti Rasul.

Padahal Rasul sendiri menikah untuk yang kedua kalinya adalah setelah isteri pertamanya wafat. Dan wanita yang dinikahi sebagai isteri keduanya adalah janda dari temannya yang syahid di medan perang yang usianya sudah sangat tua dan miskin. Juga isteri-isteri beliau yang lainnya berusia tua dan miskin harta. Bukan janda cantik, bahenol dan kaya.

Isteri terakhirnya barulah wanita muda yang dinikahi untuk tujuan men-syiar-kan kehidupan pribadi Rasullulloh, agar dapat diteladani oleh umatnya.

Saya tidak menentang poligami, karena dalam Al Qur’an sendiri dihalalkan berpoligami, dengan syarat-syarat yang telah digariskan pula.

Namun bila kepentingan syahwat diklaim sebagai ajaran Islam dan Sunah Rasul, bagi saya ini harus ditentang.

Silakan Ustad/Kyai/Santri/Ulama yang bernama Aa Gym atau nama-nama lainnya kawin lagi entah sepuluh kali atau seratus kali, saya tidak peduli ! Tapi jangan klaim itu adalah Sunah Rasul! Cukup katakan “saya ini maniak kawin, dan daripada zinah, kan lebih baik dikawin sah!” -antz-

Tuesday, November 28, 2006

Kota Vatikan

Dominik, kawan lama Johan di Jakarta, akan berdinas di Roma selama 5 hari. Dia mendapat undangan untuk meninjau sebuah UKM (usaha kecil dan menengah) yang memproduksi kerajinan kulit. Dominik berminat sekali untuk memproses kulit menjadi sehalus buatan Italia.

Dalam kunjungannya ini Dominik ingin sekali melihat Vatican City. Namun dia tidak mengetahui dimana sih sesungguhnya Vatican City itu ?

Kebetulan dia mempunyai seorang kawan yang tinggal di Roma, maka diapun mengontak Johan, untuk mencari tahu dimana Vatican City itu.

Vatican menjadi negara tersendiri (disebut Vatican City) sejak tahun 1929 ketika perjanjian Lateran ditetapkan dalam “Roman Issue” antara Gereja dan Republik Italia. Luas kota Vatican sekitar 40 hektar dan berada dalam kota Roma. Penduduknya sekitar 1000 jiwa.

Untuk menuju Vatican dibutuhkan visa Italia (scengen) karena anda akan mendarat di bandara kota Roma (bandara Fiumicino). Objek wisata di kota Vatikan adalah Gereja San Pietro (St Peter’s Basilica), didalamnya kita dapat melihat Tomb of St. Peter, Sacred Grotos, museum Vatikan, Michelangelo’s Dome setinggi 136 m dan The Swiss Guard (tentara kota Vatikan dengan seragam garis-garis berwarna oranye dan biru).


Dalam foto adalah gerbang menuju kota Vatikan, untuk dapat masuk ke gerbang itu membutuhkan surat ijin khusus. Dan tembok yang memanjang adalah batas kota Vatican dari sisi sebelah Barat.

Friday, November 17, 2006

Promosi Citra

Roma, Sugianto. Dalam berinteraksi sosial, citra seseorang selalu menjadi bahan pertimbangan untuk hubungan lebih lanjut. Begitu pula citra sebuah negara. Dalam pergaulan internasional citra sebuah negara akan berpengaruh pada warga negaranya saat berada di luar negeri. Begitu pula warga negara lain akan melihat citra sebuah negara yang akan dikunjunginya baik sekedar kunjungan wisata ataupun kunjungan bersifat ekonomi.

Apa yang mempengaruhi citra sebuah negara ? Opini !

Ya, opini akan berpengaruh besar dalam membentuk citra sebuah negara. Sebuah negara yang diberitakan secara terus menerus dalam posisi jelek akan terbentuk citra yang jelek dimata internasional. Begitu pula sebaliknya.

Promosi citra sesungguhnya adalah pertarungan opini baik di luar maupun di dalam negeri. Pembentukan opini positif yang terus menerus di dalam negeri akan mengimbas pada opini di luar negeri yang positif pula. Begitu pula bila sebaliknya, opini di luar negeri selalu mengikuti opini di dalam negeri.

Untuk membuat opini positif yang terus menerus, maka dibutuhkan kerjasama dan koordinasi dari semua pihak baik pemerintah, swasta, kelompok maupun perorangan untuk terus menerus berperilaku positif. Bila tidak, maka negara hanya akan menemukan tugas para promotor citra di luar negeri yang hipokrit, yang menisbikan keadaan di dalam negerinya.

Jadi pertanyaannya adalah “apakah sebuah kepercayaan itu diminta atau diberikan ?” karena citra adalah bentuk lain dari kepercayaan.

Thursday, November 09, 2006

Demo anti RUU APP

Saat kami sekeluarga sedang jalan-jalan di kota Firenze, Italia, kebetulan sedang ada demo menentang RUU APP oleh David dan temannya atas koordinasi LSM pimpinan Michaelangelo.

Mereka berdemo dengan cara memajang diri tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya, di depan lapangan dekat pasar kulit terkenal.

Wednesday, November 01, 2006

Pahlawan digital

Roma, Sugianto. Pada bulan Nopember ini sebentar lagi kita akan memperingati Hari Pahlawan. Yang kita peringati tentu jasa-jasa, semangat, mental, nilai perjuangan dan patriotisme mereka yang telah berkorban untuk mempertahankan dan membela negara dan bangsa Indonesia dari segala ancaman dan gangguan yang hendak menhancurkan dan menjajah negeri ini.

Dahulu para penjajah yang hendak kita perangi sangat terlihat jelas. Senjata merekapun sangat menakutkan dan dapat membunuh manusia dengan seketika dan mengenaskan. Saat ini, di abad informasi digital, para penjajah sangat samar, dengan senjata yang sangat menyenangkan dan membuai. Akibat dari senjata itupun tidak segera terlihat, butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadari kerusakan dari senjata penjajah abad digital ini. Namun hal yang tetap sama dari para penjajah adalah motifnya, yaitu penguasaan ekonomi.

Televisi sebagai media informasi digital yang menghadirkan suara dan gambar yang sangat baik, termasuk senjata favorit yang digunakan para penjajah untuk menguasai perekonomian sebuah negara. Berita-berita yang menggiring opini dunia, iklan-iklan produk kebahagiaan dan kenyamanan dunia, video klip yang menjadi panutan mode dan metode hidup enak tanpa kerja serta konsumerisme dihadirkan dengan terus menerus selama 24 jam, 7 hari seminggu alias non-stop terus-menerus.

Akibat informasi bombastis media televisi tersebut, dapat terlihat dari mulai anak-anak sampai pertumbuhan ekonomi nasional negara.

Anak-anak lebih mencintai televisi daripada bermain yang kreatif atau membaca bahkan ada yang selalu merengek meminta mainan yang diiklankan di televisi. Anak-anak korban mode selalu iri bila ada temannya yang memiliki mainan atau barang-barang tertentu yang diiklankan di televisi secara terus-menerus. Para remaja korban mode lebih heboh lagi, mereka berpakaian ala artis di video klip, menganggap merokok dan dugem adalah modern dan gaul. Anak-anak tumbuh dalam sikap konsumerisme yang akut.

Dalam skala yang lebih besar, informasi televisi telah mengubah persepsi masyarakat tentang kekayaan, tentang kesuksesan, tentang bekerja dan segi-segi kehidupan lain. Lihatlah pertumbuhan ekonomi negara kita, berapa persennya yang terjadi dari nilai tambah produksi ? dan berapa persennya yang terjadi karena meningkatnya konsumsi ?

Peningkatan konsumsi yang lebih tinggi dari peningkatan produksi hanya akan mengakibatkan keluarnya devisa negara secara teratur dan semakin besar ke luar negeri. Dan keluarnya devisa yang lebih besar dari pemasukan, akan mengakibatkan negara dalam posisi tawar yang rendah di forum internasional. Dengan kata lain negara telah tergadai.

Opini yang didengung-dengungkan secara terus menerus oleh para “ahli ekonomi dunia” sesungguhnya adalah demi kepentingan mereka. Contoh paling nyata adalah masalah subsidi. Misalnya di Italia sebagai negara yang termasuk kelompok 8 negara ekonomi besar dunia (G8). Lihatlah proteksi produk dasar dan pertaniannya, bandingkan dengan proteksi produk dasar dan pertanian kita.

Dalam negara yang sebagian besar penduduknya telah sangat konsumtif, perlu banyak pahlawan setingkat kemampuan Superman untuk dapat membalikkan keadaan dengan cepat. Dan tentunya Superman hanya ada di dunia fiksi.

Bagaimana di dunia nyata ?

Didunia nyata para pahlawan tentunya manusia biasa, yang melakukan perubahan dengan strategi jangka panjang, dalam skala kecil tetapi hasilnya pasti dan berdampak luas dikemudian hari. Banyak sekali pahlawan tersebut hadir disekeliling kita tanpa kita ketahui. Mereka bukan aktifis LSM, bukan pejabat, bukan tokoh terkenal, bukan ulama, bukan konglomerat, ataupun seorang ahli. Mereka adalah orang tua yang mendidik anak-anaknya untuk tidak kecanduan televisi, mendidik anak-anaknya untuk tidak konsumtif, dan mendidik anak-anaknya agar menjauhi hidup yang tidak sesuai dengan nilai agama.

Semua kan tergantung orangnya. Biarpun televisi ngiklanin habis-habisan suatu produk, kalo gak kita tanggepin sih gak akan ngaruh !”

Betul !

Namun manusia adalah mahluk kebiasaan. Hari pertama sampai bulan pertama informasi “A” dianggap salah, namun karena setiap hari mendengar informasi “A”, maka lama-lama “A” akan dianggap suatu kebenaran dan akhirnya akan diikuti.

Friday, October 27, 2006

Hak Azazi Rokok


Roma, Sugianto. Isu Hak Azazi Manusia atau HAM saat ini sangat populer sebagai cara untuk meraih harta, kekuasaan, popularitas dan pembenaran. Di dunia internasional dikenal Amerika Serikat dalam skala negara dan para aktifis HAM dalam skala kelompok.

Saat ini dapat dipastikan isu HAM hanya digunakan untuk mencari nafkah harta, tahta kekuasaan, popularitas dan keuntungan pribadi atau kelompok. Cara yang digunakan biasanya adalah dengan mencari-cari kesalahan orang lain atau institusi atau negara kemudian menggelar unjuk rasa, mengklaim sesuatu pembenaran tindakan, mengklaim keadilan dan/atau menggalang opini umum dan dunia. Bahkan lebih jauh atas nama HAM mereka rela menjual negara, kehormatan, integritas, ideologi dan bahkan aqidah.

Rata-rata para “pembela HAM” dapat memperoleh kedudukan, memperoleh penghargaan, memperoleh kenyamanan hidup, memperoleh keistimewaan fasilitas dengan cara menyerang orang lain (atau negara lain), mengintervensi pribadi perseorangan (atau negara lain) atau bahkan membunuh dan merusak dengan tindakan-tindakan lain yang mereka namakan meluruskan ketidakadilan.

Seperti yang semua orang sudah ketahui, hukum alam selalu berpasangan, seperti juga ada aksi dan ada reaksi, ada positif dan ada negatif, ada laki-laki dan ada perempuan, ada hak dan ada kewajiban. Namun seberapa sering kita mendengar atau membaca isu Kewajiban Azazi Manusia atau KAM ?

Inilah fenomena manusia yang terlalu mengagungkan HAK dengan melupakan lingkungan sekeliling yang tentunya juga mempunyai HAK yang sama dengan dirinya. Dengan kalimat lain, manusia memang secara nafsu selalu menuntut dan mengupayakan HAK tanpa peduli KEWAJIBAN. Padahal kewajiban itu tidak lain adalah bentuk kepedulian manusia dalam menerima hak alam sekitar kita, tidak hanya manusia lain tetapi tumbuhan, hewan dan lingkungan tempat berpijak dan bernafas si manusia itu.

Terus apa hubungannya dengan rokok ? Ilustrasinya begini :
Si Sam adalah seorang perokok dan si Koko bukan seorang perokok. Sam dan Koko duduk bersebelahan punggung dalam sebuah warung nasi. Setelah makan Koko hanya duduk sambil minum teh sedangkan Sam duduk sambil merokok dengan asap yang mengepul-ngepul memenuhi warung. Pertanyaannya siapa yang telah mengganggu lingkungan ?

Seringkali jawaban Sam atas asap rokoknya yang mengganggu adalah “Siapa suruh dekat-dekat !”. Atau jawaban Sam terhadap peringatan yang tertulis di setiap bungkus rokoknya adalah “ngerokok pasti mati, gak ngerokok juga mati, jadi nikmatin aja rokok toh semua bakal mati juga”.

Sam beranggapan dia memiliki 100 % Hak Azazi Rokok !

Wednesday, October 18, 2006

Kali Ciliwung impian kita

Seandainya kali Ciliwung bersih ..... segar..... dan indah
Kan ku tarik nafas sedalam-dalamnya menikmati udaramu yang sangat sejuk
Kan ku telusuri setiap jengkal tubuhmu yang meliuk liuk indah
Kan ku selami dan nikmati airmu yang segar dan bersih

Bayangan sampah telah hilang, gubuk-gubuk reyot disekitarmu telah berganti pepohonan dan warna-warni bunga-bunga yang sangat indah, limbah pabrik dan limbah rumah tangga telah hilang berganti dengan ikan-ikan beraneka jenis dan warna. Burung-burung, kura-kura, ular, buaya dan binatang-binatang lain akan dengan senang hati memenuhi sungaimu yang menghidupi.

Tiba-tiba........ Pah bangun, saur, udah ampir imsak nih ! ternyata isteriku tercinta membuyarkan mimpiku tentang kali Ciliwung karena masakan untuk sahur telah terhidang di atas meja.

Saturday, October 07, 2006

Bulan Bahasa Indonesia

hari lebaran semakin mendekat
walau kita bertebaran tetapi tetap melekat

sibuk tak punya waktu karena kerja
coba luangkan waktu sekedar menulis cerita

ikatlah ilmu dan pengalaman dengan menuliskannya
generasi penerus akan mengambil manfaatnya


** Ini adalah pantun-pantunan saya di milis sebuah profesi (maksudnya sih pantun tapi apakah ini termasuk kategori pantun?).

Roma, Sugianto. Bulan Oktober biasanya disebut juga bulan bahasa. Yang dimaksud tentu bahasa Indonesia. Sebab dibulan inilah Bahasa Indonesia pertama kali dikumandangkan sebagai bahasa nasional dan sekaligus bahasa pemersatu di Republik Indonesia.

Berbicara tentang bahasa Indonesia umumnya akan langsung tertuju pada sastra Indonesia. Padahal bahasa Indonesia ini tidak semata sastra saja. Ada banyak hal-hal yang berkenaan dengan bahasa ini. Salah satunya adalah semakin lunturnya kebanggaan berbahasa Indonesia, baik dalam percakapan sehari-hari, dalam menulis di media maupun dalam jurnalistik.

Bila diamati dikoran, majalah, buku-buku, dan di website/webblog serta saat percakapan informal, rata-rata pengguna bahasa Indonesia mencampurnya dengan bahasa asing terutama bahasa Inggris. Walaupun sesungguhnya padanan dalam bahasa Indonesianya telah tersedia dan termasuk kata yang populer. Bahkan dalam jurnalistik sering ditemui kata bahasa Indonesianya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, seolah-olah pembacanya tidak mengerti kata-kata tersebut.

Terlepas dari maksud dan tujuan menggunakan campuran bahasa asing atau bahkan merasa lebih mantap dengan bahasa asing, yang pasti bahasa Indonesia tetaplah harus dipertahankan sebagai bahasa nasional. Dan siapakah yang paling berkepentingan mempertahankan bahasa Indonesia, bila bukan bangsa Indonesia sendiri ?

Tanpa maksud membandingkan, lihatlah beberapa negara di Eropa. Misalnya di Italia, dinegara ini sangat sulit menemukan hal-hal yang tidak menggunakan bahasa Italia. Seluruh rambu jalan menggunakan bahasa Italia. Majalah dan koran berbahasa Inggris sangat sulit dicari, walaupun ada tetapi hanya ditempat-tempat tertentu dengan harga yang lebih tinggi dan tersedia hanya beberapa eksemplar saja. Televisi lokal, bahkan hanya sebuah program acara yang berbahasa selain Italia tidak tersedia.

Mereka bangga sekali dengan bahasanya, sehingga para pendatang, apakah itu turis, investor atau imigran harus memahami bahasa Italia, walaupun hanya dasar-dasarnya saja. Padahal penduduk dunia yang menggunakan bahasa Italia sangat sedikit jumlahnya.

Kebetulan saat kami mengantar anak-anak bermain di toko buku, saya menemukan sebuah ensiklopedia anak-anak dimana didalamnya ada 10 besar bahasa di dunia dan inilah urutannya : (1) Cina; (2) Inggris; (3) Hindi; (4) Spanyol; (5) Rusia; (6) Arab; (7) Bengal; (8) Portugal; (9) Indonesia; (10) Jepang.

Bahasa Indonesia termasuk urutan ke-9 terbanyak digunakan penduduk dunia. Jadi pertanyaannya banggakah kita dengan bahasa Indonesia ?

Saturday, September 30, 2006

Reformasi birokrasi

Sugianto, Roma. Birokrasi yang berbelit-belit telah menjadi cap pelayanan dari PNS Indonesia. Sebuah cap yang sangat negatif. Namun perlu dipahami bahwa cap tersebut bisa jadi adalah kenyataan sehari-hari di lapangan. Bahkan masyarakat mungkin masih mengingat motto para PNS adalah : kalau masih bisa dipersulit mengapa dipermudah ? Yang semuanya bermuara pada keuntungan pribadi atau kelompok. Istilah populernya adalah UUD, ujung-ujungnya duit.

Di era pemerintahan Presiden SBY saat ini, kesan PNS sebagai birokrat yang mempersulit dan selalu meminta uang ekstra atas pelayanannya, ingin diperbaiki. Beberapa departemen telah melakukan reformasi dengan memperbaiki sistem administrasi maupun struktur organisasinya. Namun koordinasi antar departemen atau instansi pemerintah masih belum menunjukkan arah menuju perbaikan bahkan terkesan semakin berpikir sektoral. Terkadang malah terkesan saling berebut kewenangan dan/atau pengelolaan. Tentunya ya masih beraroma UUD juga.

Salah satu sebab sulitnya koordinasi antar instansi pemerintah ini adalah masalah anggaran dari masing-masing instansi. Masing-masing instansi perlu mengamankan anggarannya, sehingga berpikir strategis untuk bangsa dan negara menjadi hal yang tidak prioritas.

Dalam menangani suatu isu yang mengharuskan kerjasama antar instansi pemerintah terkadang perlu waktu yang lama disebabkan masing-masing instansi harus membahas anggaran pelaksanaannya. Bila suatu instansi (katakanlah departemen A) bisa mengeluarkan anggaran untuk menangani isu tersebut, personil departemen A belum serta merta langsung dapat bekerjasama dengan personil departemen lain. Sebab baik personil departemen A maupun departemen lain masih melihat keuntungan apa yang akan diperolehnya, menjadi perhatiannya saat memutuskan ikut menangani isu tersebut atau tidak.

Sangat jelas sekali aroma UUD masih terlalu enak untuk ditinggalkan para PNS. Sebab dengan pendapatan bulanan yang dapat dikatakan kecil, setiap kegiatan tentu tetap akan dijadikan sebagai uang ekstra untuk dibawa pulang. Bahkan terlalu banyak kegiatan yang fokus utamanya hanya bagaimana menggunakan anggaran yang ada. Kegiatan yang berfokus utama dan pertamanya pada upaya membangun bangsa dan negara dapat dikatakan hampir tidak ada.

Terlalu sering kita mendengar “anggarannya ada kok” untuk suatu kegiatan atau belanja barang yang sesungguhnya tidak perlu, hanya agar personil yang menanganinya mendapat sedikit tambahan uang ekstra.

Juga banyak sekali perjalanan dinas yang sesungguhnya tidak perlu dan hanya kamuflase saja agar personilnya mendapatkan uang ekstra. Perjalanan dinas seperti ini menjadi memalukan manakala melibatkan mitra asing di luar negeri. Misalnya kunjungan anggota parlemen Indonesia ke negara-negara di Uni Eropa yang dilaksanakan saat liburan musim panas. Tentu para anggota parlemen Indonesia tersebut kesulitan menemui mitranya di negara itu karena rata-rata anggota parlemennya sedang liburan.

Atau staf departemen X mengunjungi pameran dagang di Beijing misalnya. Atau staf departemen Z mendaftar sebagai peserta seminar tentang teknologi tertentu di Bangkok misalnya. Kegiatan yang sangat bagus bila memang tujuannya untuk kemajuan bangsa, namun seringkali personil yang dikirimkan tidak kompeten dan hanya merupakan giliran sebagai upaya kesejahteraan saja.

Bila pemerintahan Presiden SBY sungguh-sungguh ingin memperbaiki citra PNS dari berbagai cap negatif tersebut, perlu dilakukan reformasi birokrasi yang menyeluruh. Upaya reformasi birokrasi ini harus dilakukan setahap demi setahap. Dan tahap pertama yang harus direformasi adalah sistem administrasi keuangan negara.

Sistem administrasi keuangan negara yang selama ini ada sangat membuka peluang bagi personil PNS, sekalipun personil PNS itu tadinya adalah mr. clean, untuk memanipulasi. Banyak sub-sub kegiatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dengan sistem yang ada sekarang, sehingga mengakibatkan perlunya teknik-teknik (atau akal-akalan) agar suatu sub kegiatan dapat masuk dalam pembukuan pertanggung jawabannya. Teknik-teknik mempertanggung jawabkan seperti itulah yang akhirnya menjadi teknik memanipulasi.

Tahap kedua adalah reformasi administrasi kepegawaian. Dimana reformasi ini tidak memerlukan kiat-kiat baru, cukup gunakan teknik manajemen kepegawaian yang telah ada namun dilaksanakan dengan baik. Mulai dari memberlakukan hukuman dan penghargaan kepada pegawai, perbaikan struktur kepangkatan dan struktur gaji disesuaikan dengan kompetensi pegawai, proses seleksi pegawai baru yang berdasarkan kualifikasi tertentu, pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan hingga promosi-promosi jabatan yang disesuaikan dengan kemampuan personil PNS-nya.

Tahap-tahap selanjutnya akan bergulir dengan sendirinya bila dua tahapan dasar ini telah berjalan dengan baik. Namun reformasi birokrasi ini hanya dapat terjadi manakala ada niatan baik dari para pemimpin di pemerintahan untuk benar-benar mewujudkan impian pemerintahan yang baik dan bersih. Akhirnya semua berpulang kepada manusianya, kepada manusia-manusia yang mempunyai kekuatan untuk menggerakkan manusia lainnya.

Wednesday, September 27, 2006

Politik napsu para politisi

Minggu-minggu ini para politisi sibuk berwacana pemilihan presiden untuk tahun 2009. Bahkan ada partai yang sudah mengusung nama calon Presiden RI 2009 (cuih gak tau malu wuek). Masih 3 tahun lagi, tapi rupanya para politisi sudah kebelet ingin berkuasa. Padahal permasalahan bangsa Indonesia saat ini masih banyak yang lebih penting didahulukan untuk dipikirkan dan diselesaikan bersama-sama, daripada memikirkan pencalonan presiden tahun 2009.

Terlihat dengan jelas napsu para politisi untuk berkuasa hanya sebagai jalan bagi pemenuhan hasrat keserakahan diri. Juga jelas sekali terlihat tidak adanya niat untuk membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dari politisi-politisi itu. Pokoknya berkuasa titik.

Apa jadinya bangsa Indonesia jika nantinya dipimpin oleh orang-orang seperti ini ? bisa-bisa semakin terpuruk saja.

Semoga saja rakyat Indonesia mengetahui mana calon presiden yang cuma napsu berkuasa saja dan calon presiden yang memang ingin membangun bangsa. -antz-

Friday, September 22, 2006

PGPNS ala PNS

PGPNS aslinya adalah kependekan dari Pangkat dan Golongan Pegawai Negeri Sipil. Namun istilah PGPNS sering juga diplesetkan menjadi Pintar dan Goblok Penghasilan Nya Sama.

Plesetan tersebut tidak serta merta muncul tanpa juntrungan. Plesetan itu muncul karena memang kondisi PNS dapat dikatakan hampir seperti itu.

Tengoklah peraturan kenaikan pangkat reguler. Setiap PNS apakah itu rajin, pintar, cekatan dan bermutu tinggi atau malas, bego, lamban dan berkualitas rendah setiap empat tahun otomatis pangkatnya naik sampai plafon pendidikan formalnya.

Atau tengok pula kenaikan pangkat dan golongan lewat jabatan fungsional yang sesungguhnya diperuntukkan sebagai indikator keahlian dan kecakapan. Pada kenyataannya jabatan fungsional banyak yang akhirnya hanya dipakai akal-akalan untuk kenaikan pangkat dan golongan yang dipercepat.

Banyak sekali PNS yang berkualitas buruk dapat naik pangkat terus setiap dua tahun sekali karena angka kredit jabatan fungsionalnya selalu terpenuhi dengan spektakuler. Dilain pihak ada PNS yang berkualitas tinggi malah mendapat kesulitan memperoleh angka kredit dalam jabatan fungsionalnya akibat berbagai peraturan yang tidak tepat.

Hal-hal seperti tersebut diatas secara sistematis akan menurunkan mutu para PNS berkualitas. Sebab hukum alamnya adalah : hal yang negatif lebih cepat menyebar dan berpengaruh daripada hal yang positif. Semangat individu untuk maju bisa terkikis bila tidak mendapatkan ganjaran yang layak dalam jangka waktu lama.

Untuk mengatasi hal-hal buruk sistem PGPNS yang ada saat ini, kita tidak memerlukan resep baru ataupun gebrakan baru. Cukup kita ikuti saja aturan manajemen yang paling sederhana : hukuman dan ganjaran yang dilakukan secara tepat.

Selain itu yang harus diprioritaskan adalah perbaikan struktur gaji dan metode kenaikan pangkat yang mencerminkan keahlian PNS. Keahlian PNS sangat beragam, dan setiap jenis keahlian telah ada pakem dan etiknya, sehingga tidak perlu membuat yang baru.

Dan pimpinan pun harus tega menilai jelek atau bahkan memecat PNS yang memang berkualitas sangat buruk, yang tentu telah melalui proses dan prosedur yang ditetapkan. Bila tetap mempertahankan sifat “kasihan”, maka para PNS tidak akan terpicu untuk maju. -sugianto-

Thursday, September 21, 2006

PNS lagi PNS lagi

Baru-baru ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) melontarkan wacana pengurangan PNS. Saya kira para PNS tidak perlu risau sebab ini cuma wacana, belum akan ada tindakan apa-apa. Saya menyebutnya wacana, karena memang kelihatannya Menpan tidak akan membuat hal itu terwujud. Mengapa ?

Popularitas ? mungkin. Tetapi yang jelas kalau memang Menpan akan mewujudkan rencana itu tentu Menpan akan tampil dengan suatu program nyata yang dapat langsung diterapkan. Ingat Menpan adalah eksekutif. Seorang eksekutif adalah unsur pimpinan yang dapat menggerakkan pelaksana untuk melaksanakan sebuah kebijakan atau program. Menpan bukan pengamat PNS, tapi menterinya para PNS, darimanapun ia berasal. Selain itu sudah sangat sering Menpan berwacana mengenai kualitas sdm PNS, yang tidak kunjung dibuatkan program untuk mengatasi permasalahan dan menyelesaikannya.

Banyak hal yang masyarakat tidak ketahui tentang PNS, yang diketahui oleh masyarakat hanyalah pelayanan yang buruk, birokrasi yang tidak efektif, korupsi, malas, dan lain-lain. Padahal tidak semua PNS berlaku tidak terpuji. Walaupun persentasenya kecil, PNS berkualitas yang mempunyai integritas tinggi tetaplah ada.

Mengapa lebih banyak PNS yang tidak berkualitas ? ini tentunya berpulang pada sistem organisasi PNS. Dan tidak kalah penting adalah gaji yang rendah. Seperti saya kemukakan dalam tulisan tentang PNS sebelumnya, dimana gaji rendah tidak akan menarik minat putra-putra terbaik bangsa untuk mengabdi sebagai PNS.

Apakah orang-orang berkualitas tinggi akan ada yang berminat menjadi PNS bila golongan tertinggi (IV-e) dengan masa kerja lebih dari 30 tahun menerima gaji tertinggi Rp. 2,5 juta saja ? Jujur saja, walaupun orang tersebut mempunyai integritas tinggi dan tidak materialistik, tetap saja dia membutuhkan gaji yang layak untuk dapat menghidupi keluarganya dengan baik. Jadi jangan harapkan input berkualitas buruk menghasilkan output berkualitas premium, paling pol ya kualitas cukup lah.

Sebagai menteri, saya kira tidak layak Menpan berwacana yang tidak produktif. Lebih baik Menpan memfokuskan pada penyelesaian permasalahan di tubuh organisasi PNS secara tahap demi tahap. Porsi pekerjaan seorang menteri adalah menyelesaikan masalah, sedangkan berwacana adalah porsi pekerjaan para pengamat PNS.

Maaf pak Menpan saya hanya mengingatkan saja. -sugianto-

Monday, September 18, 2006

Kehebatan seorang anak

Hari ini sudah hari keempat Cleoputri masuk sekolah di TK Regina Elena. Walaupun dari rumah dia sangat antusias untuk sekolah, tetapi sampai di sekolah dia malah menangis. Hal yang wajar dalam penyesuaian lingkungan. Lambat laun dia akan belajar beradaptasi dengan lingkungan barunya. Maklum ini adalah kegiatan luar rumah pertama dalam hidupnya.

Kakaknya pun walau sudah 3 tahun bersekolah di TK, saat memasuki lingkungan baru sekolah dasar cukup tertekan. Lagi pula ini sekolah dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa ibu, karena kami sekolahkan mereka di sekolah negeri di Roma, Italia. Dan tentunya dengan bahasa pengantar sehari-hari bahasa Italia.

Dua tahun yang lalu, saat kami baru saja pindah ke Roma, anak kami yang tertua masih SD kelas 1. Terlihat sekali dia tidak bisa bermain dengan teman-temannya karena tidak mengerti bahasa dan kebiasaan anak-anak disini. Tetapi semua itu hanya berlangsung sebentar saja. Setelah itu mereka dengan kecepatan amat menakjubkan dapat beradaptasi dengan bahasa dan budaya lingkungannya.

Sungguh mengagumkan proses perkembangan anak-anak. Banyak hal yang dapat dipelajari orang dewasa dari proses tumbuh dan berkembangnya anak-anak. -sugianto-

Sunday, September 17, 2006

Sang Raja keseleo lidah

Setiap pemimpin harus terus mengasah ilmu pengetahuannya dan mengaktualkan diri dengan terus melebarkan wawasannya. Bila tidak, maka kejadian seorang pemimpin (yang katanya) besar bisa keseleo lidah dikarenakan kekurang-wawasannya.

Baru-baru ini Paus Benediktus XVI mengalami keseleo lidah karena wawasan sang Paus terhadap apa yang diucapkannya sangat kurang memadai, kalau tidak mau disebut tidak memadai.

Terlepas dari niat sang Paus untuk menyinggung atau tidak terhadap umat lain, yang jelas dengan adanya keseleo lidah yang fatal ini, respek dunia terhadapnya menjadi berkurang. Mengurangi rasa hormat dan penghargaan terhadapnya karena ketidak-bijakannya menyikapi isu-isu yang ada di sekelilingnya. Terlebih lagi isu yang sedang keruh.

Pemimpin sejati datang dengan kebijakan. Pemimpin yang dikondisikan (keadaan) datang dari pengkultusan. Pengkultusan bermuara pada hal-hal diluar diri pemimpin, dimana sesungguhnya sang pemimpinnya sendiri tidak mempunyai sikap kepemimpinan yang kuat. Akibatnya perintahnya, ucapannya, tindakannya sering tidak mencerminkan kebijakan dan kealamiahan.

Dalam buku-buku kepemimpinan, pemimpin adalah setiap individu dengan sikap kepemimpinan bukan atasan, komandan, panglima, ketua, direktur, kepala, presiden, menteri dan lain-lain jabatan formal. -antz-

Monday, September 11, 2006

Berawal di akhir dan berakhir di awal

Membaca berita tentang mantan Presiden RI ke-3 Prof. B. J. Habibie yang mendapatkan gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Hasanuddin, membuat saya teringat dengan program beliau yang sangat populer :

Berawal di akhir dan berakhir di awal

Sebuah program evolusi empat tahapan alih teknologi yang dipercepat, yang sangat brilian. Walaupun model program semacam ini sulit dipahami oleh nalar awam yang lebih memprioritaskan komplain, keluhan, protes dan tuntutan atas kemalasan dan ketamakan dalam hidupnya.

Empat tahapan alih teknologi itu: (1) memproduksi mesin/teknologi berdasarkan lisensi utuh dari industri mesin/teknologi negara lain; (2) memproduksi mesin/teknologi secara bersama-sama dengan industri negara lain; (3) memproduksi mesin/teknologi dengan mengintegrasikan seluruh teknologi dan sistem yang paling mutakhir yang ada di dunia menjadi sesuatu yang sama sekali baru / didesain baru; dan (4) memproduksi mesin/teknologi berdasarkan hasil penelitian/riset kembali dari awal.

Terlepas dari pro dan kontra atas program tersebut, nyatanya saat itu Habibie telah dapat mewujudkan karya besar dengan menciptakan N250, sebuah pesawat berkapasitas 50-60 tempat duduk, yang murni didesain dan dibuat oleh putra-putra terbaik bangsa Indonesia yang tergabung dalam PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara).

Satu hal yang selalu menjadi kendala dalam melaksanakan program alih teknologi sampai pada sebuah penelitian awal adalah dana yang besar dan hasil yang tidak segara tampak.

Penelitian dari awal pastilah memakan waktu yang lama dan sumberdaya yang tidak sedikit. Selain itu hasil penelitianpun tidak selalu bisa segera dihasilkan atau dimanfaatkan.

Tengoklan penelitian-penelitian didunia mulai dari lampu listriknya Thomas Alfa Edison hingga penelitian virus flu burung. Semua penelitian tersebut memakan waktu yang lama disertai biaya yang besar. Belum lagi kekuatan fisik dan mental yang harus dijaga oleh para penelitinya.

Dalam budaya ingin serba cepat saat ini (budaya instan), penelitian awal semacam itu menjadi kegiatan yang kurang populer, tidak mendapatkan perhatian dari pimpinan dan bahkan dianggap tidak ekonomis karena produknya belum layak dipasarkan atau masih banyak bug, misalnya.

Namun dalam jangka panjang, negara atau institusi atau perusahaan yang secara konsisten melakukan penelitian, akan menjadi produsen pemenang dalam persaingan global. Sedangkan negara atau institusi atau perusahaan yang mengabaikan penelitian, apapun alasannya, akan menjadi pecundang dan hanya menjadi target pasar.

Bila anda adalah seorang pemimpin sebuah elemen lembaga negara atau sebuah institusi atau perusahaan, manakah yang akan anda pilih, menjadi produsen pemenang ataukah menerima kekalahan dan hanya menjadi target pasar ? -sugianto-

Friday, September 01, 2006

Tak ada makan siang gratis

Seusai rapat staf yang garing siang tadi, saya jadi teringat pepatah “tidak ada makan siang gratis”. Pepatah ini sering sekali terdengar bila ada ajakan untuk melakukan sesuatu yang membutuhkan pengorbanan. Ya, memang didunia ini tidak ada yang gratis, semuanya butuh sesuatu untuk ditukar sebagai harganya.

Ingin pandai, harganya adalah ketekunan belajar. Ingin kaya, harganya adalah kecerdasan dalam bekerja. Ingin mencapai puncak, harganya adalah pendakian. Dan banyak contoh lainnya.

Arti yang sama dalam pepatah lain yang tak kalah populer yaitu

Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian
Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian

Untuk mencapai keberhasilan selalu membutuhkan perjuangan, betapaun kecilnya. Dan biasanya perjuangan ini membuat fisik dan mental “menderita”. Bila kita tidak mau membayar harga pengorbanan dan perjuangan tersebut maka kita hanya akan mendapatkan default-nya atau kondisi apa adanya alias gagal.

Istilah default dalam setting sebuah mesin adalah setting dari pabriknya, yang terjemahan dari bahasa Inggrisnya adalah kegagalan. Artinya bila kita gagal men-set mesin itu, tekanlah reset maka setting mesin kembali menjadi default, asli dari pabriknya.

Kondisi asli manusia adalah miskin, dibawah dan bodoh, ingat kan waktu lahir kita tidak membawa emas batangan, tidak bisa bicara sepatah katapun dan tentunya kalau tidak digendong kita akan jatuh.

Namun seringkali kita lupa bahwa semua keinginan kita tentu harus diperjuangkan dengan pengorbanan, bukan hanya diomongkan atau diimpikan saja.

Misalnya bila kita menginginkan rumah kita lebih nyaman dan indah, maka perlu dilakukan perbaikan. Masa-masa perbaikan adalah masa-masa tidak nyaman, kotor penuh debu, air kadang mampet, tidur tidak enak dan sebagainya. Tetapi kondisi seperti itu tidak akan selamanya. Setelah melewati masa-masa perbaikan, rumah kita akan menjadi nyaman dan indah. Terbayar sudah harga pengorbanan selama masa perbaikan.

Satu catatan saja, sabar dan iklas selama masa perbaikan rumah tersebut, selalu berpikir positif serta berorientasi solusi. Karena menggerutu, mengeluh, komplain, marah, ngambek tidak akan menyelesaikan masalah atau memperbaiki keadaan. Apalagi bila kita seorang pemimpin (entah pemimpin besar atau pemimpin lingkup kecil) ataupun kader pemimpin.

Sukses selalu !
-sugianto-

Sunday, August 27, 2006

Pilihan

Saat sedang menyapu taman di apartemen kami yang terletak di lantai dasar, anak tertuaku bertanya “Pah, senang nggak punya taman ?”. “Senang. Memangnya kenapa ?” “Kan repot setiap hari harus dibersihin.” lanjutnya.

Akhirnya sambil membersihkan taman kami mendiskusikan tentang menjalani kehidupan adalah membuat pilihan. Setiap manusia berkuasa untuk menentukan pilihan atas setiap tindakannya masing-masing. Manusia dapat memilih senang dan gembira atau memilih susah dan sedih. Setiap pilihan, baik itu yang positif maupun yang negatif, senang maupun susah, akan ada kewajiban dan konsekuensinya.

Memilih untuk memiliki rumah adalah kesenangan, tetapi ada kewajiban untuk memelihara, membayarkan pajak, mengisi dengan perabotan dsb. Memiliki rumah adalah juga kerepotan/kesusahan karena harus memenuhi kewajiban pajaknya, memelihara dan mengisi dengan perabotan.

Memilih untuk memiliki anak adalah kesenangan, tetapi ada kewajiban untuk melindungi dan memelihara hingga tumbuh menjadi manusia berguna. Memiliki anak adalah juga kerepotan/kesusahan karena ada kewajiban untuk melindungi dan memelihara hingga tumbuh dewasa.

Dan masih banyak contoh pilihan hal-hal lainnya yang bisa menjadi sebuah kesenangan atau sebuah kerepotan. Itu adalah pilihan masing-masing individu.

Jika memilih ‘susah/repot’, kewajiban dan konsekuensinya sama dengan yang memilih ‘senang’, pastilah kita akan selalu memilih senang. Tetapi seringkali masalah pilihan ini tidak jelas dan tidak otomatis dapat diketahui. Terkadang sesuatu yang kelihatannya senang pada awalnya tetapi mendapati kesusahan diakhirnya. Seperti misalnya bila anak-anak dibiarkan dengan kesenangannya nonton televisi sepanjang hari, pada saat dewasa menjadi kurang produktif, dan akhirnya hidup menjadi beban buat dirinya dan orang lain.

Terkadang pula hal-hal yang diawalnya terasa sulit dan menyakitkan tetapi pada akhirnya akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan. Seperti misalnya saat berlatih menari, pada awalnya, untuk melakukan olah tubuh dan mempunyai insting penari dibutuhkan latihan keras yang membuat badan pegal, capek dan stress. Tetapi setelah melalui beberapa bulan latihan yang baik, tarian yang dibawakan menjadi luwes dan menarik. Selain itu mentalpun menjadi terasah lebih baik dalam menghadapi tekanan.

Mengutip pemikiran para tokoh besar dunia : upayakan untuk selalu berpikir positif, karena apa yang kita pikirkan dan gambarkan dalam pikiran kita, lebih sering itulah yang akan terwujud. What you think is what you get. -sugianto-

Tuesday, August 15, 2006

Gaji PNS

Pemerintah berencana menaikkan gaji PNS pada tahun depan. Setiap kenaikan gaji atau tunjangan bagi PNS tentu akan menjadi sorotan publik karena melibatkan uang negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Sebuah rencana yang patut disambut dengan gembira terutama bagi kalangan PNS dan telah selayaknya pula diimbangi dengan peningkatan prestasi kerja.

Terlepas dari pro dan kontra atas kenaikan gaji tersebut, sesungguhnya elemen gaji, walaupun bukan segalanya, akan menentukan kualitas pegawai yang berkiprah di dalamnya.

Tengoklah saat diadakan penerimaan calon PNS. Ribuan orang melamar untuk menjadi PNS, tetapi dari ribuan calon itu, berapa banyak yang berkualitas unggul ? Dalam kenyataannya mereka yang bertarung memperjuangkan status PNS lebih banyak (tidak semua) yang telah tersisih dalam kompetisi di dunia swasta atau mereka yang memang menghendaki kehidupan yang adem ayem tanpa kompetisi karier walaupun gaji pas-pasan.

Mengapa orang-orang dengan kualitas itu yang mayoritas menghendaki status PNS ? Karena orang-orang dengan kualitas unggul tentu tidak mau memasuki sebuah pekerjaan dengan gaji rendah dan iklim kompetisi karier yang tidak sehat. Mereka menyadari bahwa kualitas mereka layak mendapatkan gaji tinggi dan kompetisi yang fair. Mereka selalu berorientasi bahwa prestasi akan menentukan karier dan besaran gaji.

Di departemen tertentu kompetisi yang fair mulai dilaksanakan walaupun dengan intensitas yang masih rendah. Kompetisi karier yang fair masih terhambat beberapa kendala peraturan lama yang berlaku di PNS seperti senioritas, kenaikan golongan yang hanya berdasarkan lamanya bekerja dan pemecatan yang hampir mustahil dilaksanakan bila hanya karena alasan kinerja buruk dan tentu saja karena gaji yang rendah.

Beberapa karyawan di departemen tertentu termotifasi secara individu untuk berprestasi dan meningkatkan kompetensinya karena di departemennya mulai menerapkan kompetisi yang fair dan tentunya karena ada insentif tunjangan finansial yang lebih besar.

Agar orientasi prestasi dan peningkatan kompetensi karyawan tidak tergantung hanya dari kemauan individu, perlu diadakan mekanisme baru dalam struktur gaji, struktur kepangkatan serta promosi yang lebih mengakomodir prestasi dan kompetensi. Sehingga setiap karyawan akan dipaksa meningkatkan prestasi dan kompetensinya untuk mendapatkan promosi ke karier yang lebih tinggi dan gaji yang lebih besar.

Model jabatan fungsional sebagian PNS, secara konsep diatas kertas, merupakan rintisan kearah kompetisi yang fair. Tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak kendala yang memerlukan penyempunaan dalam segi aturan main dan tentunya tunjangan finansial sebagai insentifnya.

Bila struktur gaji PNS sudah “layak” dan model kompetisi karier telah fair, otomatis putra-putra terbaik bangsa akan berlomba-lomba pula melamar menjadi PNS. Bila para PNS terdiri dari putra-putra terbaik bangsa, otomatis pelayanan publik yang menjadi inti pekerjaan PNS akan menjadi semakin baik. Dan pada akhirnya membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kompetitif pula di percaturan global. -antz-

Sunday, August 13, 2006

Kemerdekaan Indonesia dan standar minimal

Beberapa hari lagi bangsa Indonesia akan memperingati hari Kemerdekaannya. Dengan memperingati hari kemerdekaan, diharapkan bangsa Indonesia akan mengingat sejarah pada saat perang kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan Belanda. Dengan mengingat sejarah tersebut diharapkan pula bangsa Indonesia menaruh hormat dan belajar dari sejarahnya sendiri untuk mencapai kemajuan demi mengapai cita-cita yang dicanangkan saat merebut kemerdekaan negara Indonesia dari para penjajahnya.

Saat ini, hari kemerdekaan Republik Indonesia diperingati dengan upacara bendera, pesta rakyat, olah raga bersama, memasang umbul-umbul dan bendera di jalan-jalan atau rumah-rumah penduduk, dan untuk kalangan diplomat ada resepsi diplomatik. Semuanya bermuara untuk tujuan yang sangat mulia dari sebuah peringatan hari Nasional bangsanya.

Setelah 61 tahun sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia telah mengalami berbagai kemajuan fisik yang sangat pesat. Namun kemajuan mentalitas sebagai bangsa besar yang telah merdeka masih perlu terus diperjuangkan.

Salah satu perjuangan mengangkat mentalitas bangsa Indonesia telah diperlihatkan melalui ketegasan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan tetap memberlakukan standar ujian nasional sebagai mutu pendidikan dengan nilai minimal 4,5 di tahun 2006 dan nilai minimal 5 di tahun 2007. Bila siswa-siswa tidak dapat melewati nilai standar tersebut maka siswa tersebut harus mengulangi belajarnya hingga mencapai nilai standar minimal itu dan bukan dengan menurunkan standarnya sehingga bisa dilewati oleh semua siswa.

Dengan skala 1 sampai dengan 10, sesungguhnya standar nilai minimal 5 sangatlah kecil karena bila diterjemahkan dengan kata-kata berarti kurang dari cukup. Walaupun begitu protes dari berbagai kalangan dan komponen masyarakat sangat banyak. Apakah mereka menghendaki standar nilai minimal 0 (nol) ? Bila benar begitu, buat apa susah payah menyelenggarakan berbagai ujian, tes dan seleksi disekolah dari SD sampai Perguruan Tinggi ?

Tidak perlulah membandingkan dengan standar negara lain, cukup dengan pertimbangan akal sehat dan kemauan politik yang baik untuk kemajuan bersama, maka standar nilai minimal untuk berbagai ujian, tes dan seleksi perlu dilaksanakan dengan baik. Hal ini akan memberikan dampak sangat besar dalam perkembangan mentalitas bangsa Indonesia dikemudian hari. Sebab pengaruh negatif lebih cepat menyebar dari pengaruh positif. Seperti dalam hukum alam ini, menjadi miskin dan gagal tidak memerlukan energi dan usaha, tetapi menjadi sukses dan kaya memerlukan energi dan usaha.

Contoh kongkrit : seorang karyawan dengan kinerja dan prestasi buruk tetapi tetap mendapatkan promosi dan mendapatkan gaji tinggi disamakan dengan karyawan yang berprestasi akan memberikan contoh buruk buruk terhadap organisasi karena akan menumbuhkan sikap apatis karyawan yang berkinerja baik dan berprestasi. Iklim “baik atau buruk sama saja” membuat karyawan akan memilih yang paling ringan dan tidak memerlukan energi untuk mendapatkannya.

Begitu pula bila menurunkan syarat minimal kelulusan dalam proses seleksi hanya demi mengakomodir orang-orang tertentu yang sesungguhnya sudah tidak mampu lagi untuk pekerjaan tertentu dengan berbagai alasan akan membuat oragnisasi dalam lampu merah.

Dalam dunia pegawai negeri (PNS) sangat banyak dijumpai contoh seperti itu dan telah menjadi penyakit organisasi yang akut. Perlu terobosan besar dan keberanian pemimpin organisasi untuk dapat melepaskan diri dari penyakit ini.

Majulah Indonesia………
Merdeka !!!

Saturday, August 05, 2006

Kriptografer instant

Sesi kedua seminar imajiner tentang “Pendidikan Kripto Berkelanjutan” yang dibawakan oleh Dadang Made Sitanggang, Direktur Sekolah Tinggi Kriptologi Bandung (STKB), rupanya sangat menarik sehingga banyak pertanyaan diajukan.

Willy Sahaeta, kriptografer dari Umbria, menanyakan mengenai fenomena kriptografer instant yang saat ini banyak berkiprah di posisi-posisi penting profesi kriptografi. Hal ini menurut Willy dalam jangka panjang akan merusak profesi kriptografer secara keseluruhan.

Willy mencontohkan bahwa saat terjadi pergeseran posisi sistem transmisi kripto, lebih dari sepuluh temannya yang semuanya dikategorikan oleh Willy adalah kriptografer instant, bertanya kepadanya. Walaupun Willy dengan suka rela menjelaskan, tetapi ketidak-mengertian dan ketidak-pahaman mereka pada pekerjaan pokok dan dasar sebagai seorang kriptografer sangatlah mengherankan dan sulit diterima secara nalar. Tidak terbayangkan apabila mereka mendapat pekerjaan (sebagai kriptografer) yang membutuhkan pemikiran lebih rumit, strategis atau taktis.

Willy mengibaratkan seperti seorang sopir yang mempunyai SIM (dengan cara instant), bekerja sebagai sopir, kemudian tidak dapat mengendarai mobil dengan baik. Sopir tersebut tidak mengerti bagaimana pindah persnelling, tidak mengerti menyalakan lampu sign. Mendengar hal itu para peserta lain bertepuk tangan dan tertawa.

Moderator Romi Sukaryo menjelaskan bahwa yang dimaksud kriptografer instant oleh Willy adalah para kriptografer yang dididik sekitar 6 bulan saja. Sehingga pemahamannya dalam pengamanan informasi dan kriptografi masih perlu ditingkatkan.

Dadang Made Sitanggang, sebagai salah seorang yang juga ikut terlibat dalam keputusan pelatihan kriptografer jenis ini (yang disebut instant), menjelaskan bahwa pada mulanya pendidikan dan pelatihan kriptografer ini dirancang untuk tiga tahapan, (1) pendidikan tahap pertama selama 6 bulan; (2) magang/bekerja di bagian kripto selama minimal 1 tahun; (3) pendidikan dan pelatihan tahap kedua selama 6 bulan.

Setelah lulus dari tahap kedua ini, mereka masih perlu bekerja dahulu di bagian kripto instansi pusat selama 2 tahun, selain sebagai pembinaan dari yang lebih senior juga untuk lebih memantapkan kemampuannya. Setelah itu barulah mereka bisa dilepas sebagai kriptografer mandiri.

Bila saat ini mereka yang baru mendapatkan pendidikan tahap pertama kemudian dianggap telah menjadi seorang kriptografer mandiri, maka ini perupakan pemahaman yang keliru. Dan memang bisa dimengerti bila akhirnya banyak kriptografer (instant) ini yang tidak memahami tugas-tugas pokok kriptografer.
Selain itu memang benar pemikiran saudara Willy bahwa pemahaman mengenai keamanan informasi dan kriptografi yang minim akan menjadi bumerang pada profesi kriptografer secara keseluruhan di instansi yang mempekerjakannya.

Mendengar pertanyaan dan penjelasan di sesi ini, Johan jadi teringat saat restrukturisasi di departemennya dulu. Saat itu karena keterpaksaan, Johan meminta stafnya untuk pindah jalur dengan meningkatkan status mereka menjadi kriptografer. Walaupun Johan telah diberitahu oleh pihak pendidikan bahwa banyak diantara mereka sebetulnya tidak kompeten, tetapi karena “tuntutan keadaan” maka Johan memaksa (dengan berat hati) untuk tetap menjadikan mereka kriptografer (instant juga tidak apa-apa).

Setelah 5 tahun berlalu sejak pertama kalinya para kriptografer (yang disebut instant) berkiprah di organisasinya, Johan memang melihat banyak sekali “gejolak” di profesi kriptografer baik akibat stimulus internal maupun ekternal. Bukan gejolak karena dinamika positif perubahan organisasi tetapi gejolak seperti yang dicontohkan oleh Willy. -antz-

Wednesday, August 02, 2006

Menuju spesialis

Iseng-iseng saya mencari di Google dan Yahoo dengan kata kunci pencarian “kriptografi”, karena saya ingin mencari situs yang berhubungan dengan kriptografi dan ditulis oleh orang Indonesia. Dari hasil pencarian tesebut saya belum menemukan situs tentang kriptografi yang ditulis oleh para mahasiswa/alumni Akademi Sandi Negara atau Sekolah Tinggi Sandi Negara.

Dari pencarian itu dan juga atas saran senior saya di Akademi yang sangat perhatian (bukan prihatin loh) dengan kemajuan kriptografi di Indonesia, saya berniat untuk membuat web blog khusus kriptografi. Begitu saya niatkan untuk bikin web blog yang khusus, berarti saya juga harus menjadi spesialis. Ternyata untuk menjadi spesialis tidak mudah, banyak bacaan harus saya baca dan banyak materi harus saya pelajari, dan yang terpenting saya harus lekat dengan praktek kriptografi itu sendiri.

untuk menuju spesialis
langkah pertama harus diayunkan
jangan hirau aral menghadang
siapa tahu diujung jalan ada keceriaan.
http://hadiwibowo.wordpress.com/

-antz-

Friday, July 28, 2006

Anak-anak adalah masa depan kita

Dulu waktu masih SMA saya sering mendengarkan lagunya George Benson “The greatest love of all”. Lagu itu (tahun 1977) mungkin ditujukan untuk Muhamad Ali, seorang petinju “The Greatest” pada jamannya, liriknya yang sangat menggugah membuat saya senang mendengarkannya.

I believe the children are our future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children's laughter remind us how we used to be

Everybody's searching for a hero
People need someone to look up to
I never found anyone who fulfilled my needs
A lonely place to be
So I learned to depend on me ……

Bait pertamanya sangat cocok sebagai peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada tgl 23 Juli lalu. HAN diperingati di Indonesia dengan tema “Sehari Tanpa TV.”
Kampanye yang sangat baik bagi perkembangan mental anak-anak, mudah-mudahan bisa berhari-hari tanpa tv.

Televisi memang salah satu teknologi yang sangat potensial membentuk opini, karakter, dan budaya masyarakat dengan sangat cepat. Bila program yang ditayangkan positif maka akan terbentuk masyarakat yang positif, tetapi jika sebaliknya tentu akan sangat merugikan, dan anak-anak merupakan “korban” pertama yang sangat mudah terpengaruh acara televisi.

Program televisi yang buruk, bukan hanya monopoli televisi Indonesia, kami di Eropa juga mendapatkan banyak program televisi yang buruk. Bila kita membaca berita-berita dari berbagai negara, dapat ditarik kesimpulan bahwa program televisi lebih banyak efek buruknya daripada efek baiknya bila dikonsumsi oleh anak-anak.

Saya dan isteri termasuk jarang menonton televisi semenjak anak-anak, remaja hingga punya anak, sehingga anak-anak kamipun tidak terbiasa menonton televisi. Apalagi di Italia ini acara yang diperkirakan cocok untuk anak-anak ternyata diselipkan juga hal-hal yang “dewasa”, sehingga untuk amannya, matikan saja televisi.

Dengan tidak menonton televisi, anak-anak mempunyai banyak waktu untuk macam-macam aktivitas seperti menari, mengambar, menyanyi, bermain air atau bahkan mengobrak abrik tumpukan kertas, merusak benda-benda dan mainannya atau bermain di kebun saat musim panas hingga badannya gatal-gatal digigit nyamuk.

Bermain bagi anak-anak adalah belajar. Belajar secara natural akan menuntun anak tersebut menuju “jalannya” sendiri. Sehingga anak-anak akan tumbuh besar menjadi dirinya sendiri dan mandiri. ****antz****

Thursday, July 27, 2006

Sertifikasi kompetensi

Setelah dipersilahkan untuk bertanya oleh moderator Romi Sukaryo, dalam seminar imajiner, beberapa peserta mengacungkan tangan untuk bertanya.

Kriptografer dari Torino, Batista Hasibuan, menanyakan mengapa perlu secara periodik dilakukan sertifikasi ulang bagi profesional kripto.

Dadang Made Sitanggang, pembicara kedua, mencontohkan bahwa pada kenyataannya seorang kriptografer yang lulus akademi tahun 1991 bila tidak melakukan pembelajaran sendiri secara terus-menerus pasti secara keilmuan akan jauh tertinggal dari mereka yang lulus tahun 2004. Kemudian lanjut Dadang, bahwa sesungguhnya bukan sertifikasi ulang profesional kripto, tetapi yang dimaksud adalah sertifikasi kompetensi, semacam pendidikan dan pelatihan penjenjangan yang terorganisir.

Lebih lanjut Dadang menjelaskan bahwa pendidikan dan pelatihan penjejangan akan memberikan arah yang jelas bagi para kriptografer dalam meningkatkan kompetensinya, disamping tentunya perlu melakukan pembelajaran sendiri secara terus-menerus. Bila pendidikan dan pelatihan penjenjangan tersebut tidak diorganisir, maka kompetensi kriptografer dalam satu tingkatan kriptografer menjadi tidak dapat diukur. Tingkatan kriptografer menjadi tidak mencerminkan kompetensi dari kriptografer, karena akan tergantung dari pembelajaran secara mandiri individu tersebut.

Penanya kedua, Randy Macapagal, seorang kriptografer dari Sicilia menyatakan bahwa walaupun seorang kriptografer telah melakukan pembelajaran secara mandiri sehingga memiliki kompetensi yang lebih baik, akan tetap dihargai “segini” saja. Jadi buat apa bersusah payah melakukan pembelajaran kalau hasilnya sama saja dengan yang cuek.

Pernyataan Randi didukung oleh Orton Sukesah, kriptografer dari Trieste, yang menyatakan bahwa dirinya sebentar lagi akan pensiun, jadi buat apa bersusah payah meningkatkan kompetensi, toh tidak banyak gunanya. “Saya sudah hampir pensiun juga gini-gini saja” timpalnya.

Moderator Romi Sukaryo merasa perlu menjelaskan bahwa yang dimaksud “segini saja” oleh Randi Macapagal dan Orton Sukesah adalah kriptografer yang bekerja di Kementerian Antar Negara (Kemane). Yang mana para kriptografer yang bekerja di Kemane merupakan para petugas kripto yang saat ini statusnya adalah staf non diplomatik, sehingga tidak memungkinkan peningkatan karir di jenjang struktural lebih tinggi.

Menanggapi pernyataan itu Dadang, direktur Sekolah Tinggi Kriptologi Bandung, hanya tersenyum. Sebagai seorang pakar pendidikan, Dadang paham betul bahwa pendidikan dan pelatihan hanya dapat berguna bila ada semangat belajar “dari dalam” diri seseorang. Pendidikan dan pelatihan tidak dapat dipaksakan dari luar, seperti halnya semangat untuk maju.

Setelah terdiam beberapa saat Dadang menanggapi bahwa angin perubahan kadang bertiup kearah yang tidak terduga. Yang dapat kita lakukan hanyalah mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu angin perubahan menyapa kita.

Sebelum berpindah ke penanya berikutnya, Dadangpun mengutip sebuah filosofi “what you think is what you get”, usahakan setiap hari berpikir positif agar mendapatkan hasil yang positif. ***antz***

Thursday, July 20, 2006

Pendidikan kripto berkelanjutan

Sesi kedua seminar imajiner menampilkan pembicara Dadang Made Sitanggang, seorang pakar pendidikan kripto di Indonesia yang juga direktur Sekolah Tinggi Kriptologi Bandung. Beliau membawakan tema “Pendidikan kripto berkelanjutan”.

Dalam makalahnya, beliau mengutarakan bahwa tuntutan kompetisi yang sangat tinggi sekarang ini membutuhkan pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan dari para kriptografer di Indonesia. Secara khusus menjadi sangat penting diperhatikan karena profesi kripto merupakan profesi yang tertentu (ceruk yang kecil). Bahkan kemajuan teknologi informatika dan komunikasi, walaupun tidak akan mengeliminir profesi kripto yang lebih tinggi levelnya, dapat menjadi substitusi profesi operator kripto.

Prinsip belajar terus-menerus secara berkelanjutan menjadi kebutuhan mutlak bagi profesional kripto yang ingin terus tetap eksis dalam perubahan akibat kemajuan ilmu dan teknologi informatika dan komputer, terang Dadang.

Lebih lanjut Dadang menjelaskan beberapa prinsip dari pendidikan kripto berkelanjutan yaitu :

1. Peningkatan kompetensi berkelanjutan.
Kompetensi seseorang merupakan kemampuan untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan perkembangan trend yang dari waktu ke waktu terus berkembang.
Bahkan sertifikasi kompetensi seseorang juga perlu diperbarui secara periodik dan senantiasa mengupayakan naik ke jenjang kompetensi yang lebih tinggi. Oleh karenanya pelatihan dan pendidikan seharusnya dilakukan dengan prinsip belajar terus menerus dalam rangka meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan.

2. Tidak ada kata terlambat
Belajar di bangku SD dimulai paling cepat pada umur 6 tahun. Tetapi tidak ada batasan 'paling lambat' kapan seseorang mulai belajar. Demikian juga dalam mengikuti pendidikan dan pelatihan kripto. Seringkali kesempatan mengikuti pelatihan dan pendidikan dengan modul tertentu baru bisa terbuka setelah sekian tahun bekerja, karena faktor pemerataan pemberian kesempatan dan sesuai dengan jenjang karier yang dicapai seseorang. Dalam situasi seperti ini memulai belajar dengan mengikuti pelatihan dan pendidikan pada usia berapapun dapat tetap dinikmati dan disyukuri. Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Lebih baik terlambat daripada tidak pernah. Never too old to learn.

3. Mengejar kemajuan teknologi
Perkembangan teknologi berjalan dengan percepatan lebih besar dalam beberapa tahun terakhir ini. Kalau terlambat mengikuti perkembangan, bisa jadi akan tidak mampu bersaing dengan orang lain dan berdampak pada menurunnya kinerja dan prestasi. Hanya dengan prinsip belajar berkelanjutan yang terus menerus, ketertinggalan tersebut bisa dikejar. Dan hal demikian juga berarti bahwa tidak bisa seluruh pengetahuan dan teknologi hendak dikuasai sepenuhnya dalam satu masa pembelajaran. Harus dilakukan pembaruan secara berkelanjutan.

4. Belajar aplikatif
Banyak cerita 'miring' mengatakan bahwa mahasiswa yang 'terlalu banyak belajar' umumnya akan jadi 'pemikir tulen' yang hanya terus menerus berpikir tanpa peduli pada hasil pemikirannya. Dan hasilnya hanya pemikiran untuk dipikir kembali.
Tentu saja gaya belajar seperti ini tidak praktis. Dan karenanya diperlukan proses belajar aplikatif yang memadukan pengetahuan dan kepraktisan. Dan karena memadukan keduanya seringkali tidak mudah, tidak heran banyak proses belajar yang hanya menghasilkan 'orang pintar'.
Dalam konteks seperti ini, belajar ketika sudah tidak muda lagi merupakan proses pembelajaran yang lebih efektif. Dan hal demikian banyak ditemukan di program pendidikan kelas eksekutif yang pesertanya sudah banyak berpengalaman di pekerjaan riil. Jadi, belajar ketika 'tidak muda lagi' tidak perlu disesali, bahkan perlu disyukuri.

5. Belajar dengan melakukan
Eksekutif dan profesional sekarang ini tidak 'doyan' dengan pelatihan yang terlalu konseptual teoritis. Kalau mau yang konseptual teoritis, tempat belajarnya di kampus.
Tempat terbaik untuk belajar dengan prinsip belajar dengan melakukan adalah di tempat kerja. Dan itu bisa dilakukan kapanpun juga. Bahkan semakin senior seseorang, maka kesempatan untuk belajar dengan melakukan juga semakin besar.

Sebagai penutup Dadang menyimpulkan bahwa kesemua prinsip belajar terus menerus di atas terbukti lebih efektif diberlakukan di 'tempat belajar' dunia nyata. Terkahir, belajar sambil rekreasi juga memungkinkan berjalannya prinsip belajar terus menerus.

Moderator Romi Sukaryo kemudian mempersilahkan peserta seminar imajiner untuk bertanya. Silahkan ***antz***

Wednesday, July 19, 2006

Gempa akibat mistik

Untuk kesekian kalinya Pietro membaca koran tentang berita bencana alam di Indonesia. Pietro sangat prihatin dan berdoa semoga bangsa Indonesia tabah menghadapi cobaan ini. Ada yang sangat menarik perhatian Pietro pada berita hari ini yaitu adanya komentar bahwa bencana alam ini karena “tangan panas” Presiden SBY. Ada juga yang menghubungkan bencana alam yang bertubi-tubi ini karena kutukan bagi bangsa Indonesia. Komentar lainnya mengatakan bahwa kalau Megawati tetap jadi presiden, bencana tidak akan terjadi.

Pietro tak mengerti mengapa di jaman teknologi informasi dan komunikasi ini masih banyak yang menganut paham animisme. Paham mistis yang biasanya dianut oleh orang-orang “jaman batu” dan belum mengenal sekolah.

Dalam pikiran Pietro, bencana alam ini adalah akibat pergerakan kulit bumi. Gerakan kulit bumi yang melepaskan energi itulah yang mengakibatkan gempa. Bila pusat gempa berada di laut maka akan mengakibatkan “riak” air laut yang disebut gelombang. Bila gelombang itu besar dan merambat ke daratan, maka disebutlah tsunami.

Gerakan kulit bumi ini akan terus berlangsung dan “tumbukan” antar kulit bumi ini akan terjadi dalam setiap periode tertentu. Sehingga siapapun Presiden Indonesia yang bertugas, bila sudah saatnya kulit bumi “bertumbukan”, maka gempa pun tetap terjadi.

Yang perlu dilakukan saat ini adalah memprediksi kemungkinan munculnya gempa dan akibat yang ditimbulkannya sehingga kita dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasinya. Selain itu Pietro percaya bahwa Alloh tidak akan menguji kita diluar batas kemampuan kita menanggungnya. ***antz***

Sunday, July 16, 2006

Membombardir dengan informasi

Setelah selesai melakukan tugasnya di Italia, Johan menyempatkan diri untuk melihat-lihat kota Roma yang konon menurut informasi yang ia dapatkan, sangat cantik. Sebelumnya Johan juga telah membaca buku “Petunjuk Wisata di Roma”, sehingga ia sedikitnya telah mengetahui beberapa objek wisata yang akan dikunjunginya.

Setelah melihat-lihat Basilica Santo Pietro, Castel Sant’ Angelo, Fontana di Trevi, Monumento Vittorio Emmanuelle II, Colosseo, Foro Romano dan Circo Massimo, Johan sangat kagum betapa dahsyat Italia membombardir calon wisatawan dengan informasi yang diciptakannya. Pasalnya Circo Massimo yang digambarkan sangat indah di buklet wisata, ternyata secara fisik hanyalah hamparan tanah kosong yang dipagari.



Jadi Johan dibawa ke tanah kosong tersebut dan diceritakan bahwa dulunya ditempat ini selalu diadakan adu menunggang kereta kuda seperti di film Ben Hur. Sebuah wisata “imajiner” ! Belum lagi mitos membuang uang di Fontana di Trevi yang katanya dapat membuat sang pelempar uang tersebut suatu suatu hari nanti dapat kembali lagi ke Italia, dimana dalam sehari uang yang dikumpulkan di kolam Trevi tersebut pernah mencapai € 300,-

Johan paham betul teknik perang informasi. Sehingga menciptakan informasi tertentu dan menyebarkan dengan tepat akan membuat orang-orang mempercayainya. Walaupun kenyataannya tidak terlalu hebat, tetapi bila dalam pikiran orang tersebut kehebatan sudah tertanam maka “pandangan” yang keluar adalah kehebatan seperti yang telah tertanam di pikirannya.

Lebih luas Johan juga melihat bahwa pandangan dunia telah disopiri oleh CNN, CNBC, Herald Tribun, Times dan lain sebagainya. Hampir tak menyisakan untuk “pandangan seperti apa adanya”. Televisi, koran, buku-buku dan internet telah menjadi senjata untuk mengukuhkan kepentingan.

Di tanah air, terlihat sekali bahwa televisi telah menjadi senjata ampuh untuk mengubah gaya hidup orang Indonesia. Saat televisi berlomba-lomba menayangkan acara mistik, maka sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam dunia gaib. Kemudian saat acara infotainmen membombardir pemirsa, maka sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam dunia sinetron.

Dalam perjalanan pulang di pesawat, Johan mulai merancang untuk menciptakan informasi dan menyebarkannya dengan tepat sehingga diharapkan dapat membuat organisasinya terus eksis dalam setiap perubahan. ***antz***

Saturday, July 15, 2006

Kripto untuk semua orang

Dalam menyikapi angin perubahan di organisasinya, Johan menghadiri sebuah seminar imajiner yang diselenggarakan oleh Instituto La Sicurezza di Milano Italia, yang mengangkat sebuah tema “Kripto untuk semua orang”.

Salah satu pembicara, Bucek Lioneer, seorang pakar kriptologi dari Jakarta yang diundang khusus ke seminar ini menjabarkan yang intinya bahwa dalam era teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, kriptografi sudah dipakai dalam semua produk komunikasi yang merupakan kebutuhan sehari-hari dan dalam juga setiap perangkat penyimpan data.

Saat ini kriptologi bukan lagi merupakan salah satu sisi dari sebuah coin, tetapi sudah merupakan elemen dari coin itu. Sehingga operasional kriptografi yang dulu masih dapat terasakan secara fisik, kini tidak dapat lagi dirasakan karena kriptografi tersebut telah menyatu dalam prosesnya.

Konsekuensinya, lanjut Bucek, kalau dahulu petugas khusus yang menangani operasional kriptografi masih sangat diperlukan, kini tidak lagi merupakan kebutuhan utama, karena tugas-tugasnya telah diotomatiskan oleh teknologi tersebut. Sehingga setiap orang yang membeli perangkat teknologi komunikasi dan/atau penyimpan data dapat mengoperasikan alat tersebut tanpa bantuan operator kripto.

Bucek mencontohkan, saat ini dapat dengan mudah dijumpai di toko-toko komputer dan komunikasi, produk-produk baik hardware maupun software dengan kriptografi didalamnya seperti Network Security, Storage Solution, Web Server dan lain sebagainya.

Dalam sesi diskusi, salah seorang peserta dari Bandung, Dudung Taraja, melontarkan pertanyaan “apakah itu berarti operator kripto tidak membutuhkan sertifikasi kripto ?”

Dijawab oleh Bucek bahwa sesungguhnya operator kripto saat ini adalah yang biasa disebut dengan end user, dan end user tidak memerlukan sertifikasi kripto.

Mendengar jawaban tersebut, Nakula, seorang pegawai di departemen Sambung Info, menyela “kami dari departemen Sambung Info selama ini bertugas mengelola informasi yang diproses melalui kriptografi, nah kalau nantinya pekerjaan kami dilakukan oleh end user, kami akan kehilangan pekerjaan.” “Sedangkan kami mengabdi disini sudah cukup lama”, lanjut Nakula.

Bucek menambahkan bahwa perubahan memang membawa konsekuensi, salah satunya adalah mengeliminir pekerjaan-pekerjaan tertentu. Tetapi perubahan juga akan menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru.

Nah, lanjut Bucek, sekarang tergantung dari kita sendiri apakah kita ingin menjadi sopir dari perubahan sehingga kita dapat mengatur arah perubahan itu atau kita biarkan perubahan menggilas kita karena kita takut akan perubahan itu. Lebih lanjut Bucek menjelaskan bahwa kalau kita menjadi sopir perubahan, kita dapat mengantisipasi seandainya kita perlu bergeser posisi.

“Jadi kira-kira pekerjaan baru apa yang diciptakan oleh perubahan ini ?” tanya Nakula.

Bucek pun menjelaskan bahwa dengan sedikit peningkatan kemampuan, seseorang yang telah mempunyai sertifikat kripto dapat naik menjadi analis kripto atau administrator kripto atau pembuat produk-produk kripto dan lain-lain.

Karena waktu yang terbatas maka moderator, Romi Sukaryo, menyimpulkan diskusi dan kemudian menutup sesi pertama untuk dilanjutkan pada sesi kedua dengan pembicara lainnya.***antz***