Friday, January 26, 2007

Fasilitas telepon di era Teknologi Informasi

Suatu sore setelah rapat administratif dan keuangan di kantor, Johan mendapati panggilan diskusi YM dari kawan-kawannya di komputernya. Topik diskusinya adalah pencabutan fasilitas telepon seluler yang baru dibahas di rapat tadi siang.

Beberapa kawannya yang ikut rapat tentu telah menyebarkan kabar yang tidak mengenakkan ini sehingga langsung membahasnya di forum diskusi YM.

Gumilar (G) : Han, apa bener big boss tadi bilang fasilitas telepon seluler kita akan dicabut ?

Johan (J) : Baru wacana kok. belum akan dicabut saat ini juga.

Amelia (A) : Kok tiba-tiba ada wacana kayak gitu sih ? Alasannya apa ? Padahal telepon rumah kita pulsanya juga sudah tidak diganti kantor. Dulu alasannya kalau telepon rumah bukan untuk urusan dinas. Dan secara administratif disalahkan.

G : Padahal bos sering nyuruh kita koordinasi dengan Pusat di jam-jam pas kita dirumah. Coba banyangin mosok kita kalau mau telepon ke Jakarta pagi-pagi mesti kekantor dulu.

A : Iya ya, ape bos lupa perbedaan waktu dengan Jakarta -6 jam ?

Salva (S) : Tadi disebutkan sih alasannya karena administratif aja. Supaya tertib gitu. Padahal setelah dibahas, untuk fasilitas telepon seluler, tidak ada secara administratif yang dapat membuktikan bahwa ini salah.

Rita (R) : Yup. Alasan pertama yang saya denger sih itu. Tapi tadi akhirnya disampaikan juga alasan sebenarnya, ternyata big bos tidak suka fasilitas anak buah sama dengan fasilitas bos. Bos mintanya sih dibuat plafon.

G : ha ha ha ha ha….. ente-ente pade kan cuman kroco, cukup € 30,00 ha ha ha ha ha

G : ane, bos, …….. unlimited……… ini kantor gue….. lo lo pade mau apa !!!

J : wah… jangan sinis gitu donk…. sekarang toh belum dicabut kan.

S : iya Gum, jangan sinis dulu.

S : tadi sih disebutin juga, biarpun gak secara detail, bahwa beliau mengindikasikan fasilitas telepon ini ada yang digunakan secara tidak proporsional. misalnya buat ngobrol dengan saudara-saudaranya atau temen-temennya di Indonesia atau luar negeri.

A : masalah penggunaan yang tidak proporsional itu, kalau memang itu alasan utama, mengapa tidak kita bahas lebih dalam. toh kita kan disini juga sudah sama-sama dewasa dan tentunya bisa membahas hal-hal yang menjadi masalah bersama.

R : ya itu dia, mangkanya beliau tadi men-sounding-kan dulu tentang fasilitas telepon seluler ini. beliau menunggu reaksi kita.

A : sekarang kan jaman teknologi informasi dan komunikasi, kok kita masih berkutat tentang kemewahan fasilitas telepon ya ?? saya sebut kemewahan karena kok mirip dengan pembedaan fasilitas mobil dinas atau rumah dinas. padahal antara rumah dan mobil dinas sangat berbeda dengan pulsa telepon.

A : bila diperbandingkan, fasilitas pulsa telepon lebih mirip dengan fasilitas alat tulis kantor (ATK) seperti kertas-kertas buat nge-print kerjaan atau disket.

G : betul ! kalau masalah penggunaan yang tidak proporsional sih tergantung orangnya. coba lihat di Pusat, banyak kan karyawan yang menjual kertas dari kantor ber rim-rim, jualin pulpen ATK berbox-box, disket dll.

G : lagi pula disini kan banyak kios telepon IP yang murah meriah. bisa telepon ke rumah di Jakarta selama 2 jam dengan harga cuman € 5,-, suaranya jernih pula.

R : Mungkin kita perlu sampaikan masalah ini secara tertulis ke bos, untuk bahan pertimbangan. Soalnya jaman TI sekarang ini tulang punggungnya adalah fasilitas telepon. Jadi pulsa telepon, walaupun disini masih mahal, bukan sesuatu kemewahan tetapi sudah menjadi kebutuhan sehari-hari layaknya keperluan alat tulis kantor.

G : Kalau gitu kami percayakan pada Rita saja untuk membuat nota ke bos ya…. gimana kawan-kawan setuju ?

A : setuju. good luck ya, semoga semuanya lancar.

J : setuju. mudah-mudahan gaungnya bisa sampai pada pembuat keputusan di Pusat juga. Jadi secara administratif lebih kokoh.

S : setuju. all the best.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.00 ketika Johan menutup YM–nya. -antz-

Wednesday, January 10, 2007

Citra bangsa Indonesia

Akhir tahun 2006 Indonesia telah jauh lebih maju ......

Jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Walaupun bencana silih berganti menghantam bumi Indonesia, namun tidak membuat bangsa ini menjadi terus-menerus bersedih dan terpuruk. Bangsa Indonesia tidak memperingati bencana dengan air mata, namun dengan semangat membangun yang menyala-nyala.

Tapi itu adalah kisah para anak negeri, bukan kisah para elit negeri.

Kisah elit negeri adalah kisah tentang betapa nikmatnya anggaran negara yang dapat dikantongi, baik dikantongi secara legal maupun secara tidak legal alias dilegal-legalkan supaya tampak legal. Yah... kan bisa-bisanya para elit itu bikin aturan. Pokoknya, mana yang enak aja buat elit, itu yang dibuat. Jadi jangan tanyaken kenapa anak negeri pade kuat menerima kerasnya kehidupan.

Kisah para perantau negeri lain lagi, mereka (sebagian besar loh) berjuang keras membangun citra negeri agar tidak buruk-buruk amat. Soalnya kalau citra negerinya buruk, berarti citra dirinya juga ikutan buruk.

Namun karena promosi yang gencar adalah tentang "Indonesia yang buruk", juga opini yang dikembangkan dan bernilai jual adalah tentang "Indonesia yang buruk" maka sayang sekali jutaan anak bangsa sendiri menjadi tidak pede dengan ke-Indonesiaan-nya.

jagalah citra jangan kau nodai

jagalah citra jangan kau sakiti

sebab membangun citra membutuhkan usaha yang keras

tapi menjaga citra jauh membutuhkan usaha yang lebih keras.

---eh kok mirip nyanyiannya Aa MQ---