Monday, June 11, 2007

Apakah bencana membuat kita kebal ?

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat kiriman buku-buku dan brosur dari Dompet Dhuafa (DD). Isinya sangat menggugah, dan memberikan sinar asa baru bagi bangsa Indonesia yang sedang bangkit kembali dari keterpurukan.

Saat kepemimpinan di Indonesia dipenuhi elit yang oportunis, korup dan haus kekuasaan, para personel DD tampil dengan amanah yang tidak diragukan. Mereka bahu membahu memberdayakan masyarakat miskin agar dapat hidup mandiri.

Ya, mereka tidak ingin melestarikan kemiskinan untuk komoditi politik, mereka ingin merubah para penerima zakat menjadi para pemberi zakat. Sebuah kata yang indah diucapkan, namun butuh kekuatan dan komitmen besar untuk mewujudkannya.

Ada hal menarik yang hampir menjadi kebiasaan kita dan kita kerjakan dalam keseharian adalah pengalaman budayawan Ahda Imran dalam salah satu buku itu yang menceritakan tentang adanya televisi di rumah makan Padang.

Mulanya Imran heran mengapa hanya di rumah makan Padang saja disediakan televisi, di rumah makan Sunda tidak ada, di warteg, sate dan soto Madura, gudeg Yogya atau burjo juga tidak ada. Seakan-akan televisi sudah menjadi keharusan yang sama dengan dendeng balado, usus, kepala ikan, rendang atau sambal di rumah makan Padang.

Ternyata memang nikmat makan sambil nonton televisi. Perut kenyang, matapun kenyang.

Tetapi dalam pemikiran Imran, televisi adalah kenyataan dalam makan siang di rumah makan Padang. Setiap orang agaknya sudah dibuat terbiasa memandang semua kenyataan sebagaimana memperlakukan sebuah tontonan, tanpa perlu merasa terganggu. Tidak ada yang berubah dengan selera makan dan rasa setiap hidangan.

Televisi telah membuat kita jadi terbiasa menatap dan menerima berbagai kenyataan hanya sebagai tontonan. Tidak ada lagi yang harus dipersoalkan.

Seperti yang lainnya, dengan tenang Imran menyuapkan nasi dengan rendang kedalam mulutnya, sementara sesosok mayat dalam kantung plastik dipindahkan ke dalam peti mati.

Tiba-tiba kita tidak lagi harus terperangah menatap mayat, memandang pembunuh, pemerkosa, anak kecil yang disodomi, orang yang dibakar, penjahat yang ditembak, tawuran mahasiswa, korupsi, kemaksiatan, aparat yang baku tembak dan berbagai peristiwa lain yang sebelumnya terasa mengejutkan serta mengerikan.

Bahkan semuanya hanya kita pandang seakan-akan bukan lagi sebagai peristiwa dan persoalan, tapi melulu hanyalah sebagai tontonan. Tontonan yang mengajak orang lain berpikir bahwa semua itu sudah biasa dan lumrah. Setiap orang diajak kebal dan mati rasa!

Mohon ampunan Mu ya Alloh, semoga kita bukan termasuk orang-orang yang kebal dan mati rasa. Amin.-antz-