Thursday, May 25, 2006

Ketokan seharga 400 dolar

Suatu ketika seusai memperbaiki sebuah komputer, teman kami berkata “ohhh, cuman gitu doank toh!”. Mendengar komentar itu saya langsung teringat sebuah cerita tentang seorang teknisi yang memperbaiki sebuah mesin dan memberikan tarif 400 dolar Amerika Serikat :

Dalam sebuah perusahaan percetakan, lima orang teknisi perusahaan sedang berkutat dengan mesin cetak yang macet. Setelah dua jam dan tidak memberikan hasil, mereka mulai frustasi. Kemudian sang Kepala Bagian memutuskan untuk memanggil teknisi dari luar.

Seorang teknisi perusahaan X datang dengan membawa sebuah tas tools kit, kemudian si teknisi mulai mengamati mesin yang macet tersebut. Setelah 15 menit melihat-lihat, teknisi tersebut mengambil palu kecil dari tas tools kit-nya dan memukul perlahan di sebuah sudut mesin itu. Selanjutnya teknisi tersebut menghidupkan mesin, dan…. berhasil ! mesin tersebut hidup lagi.

Kemudian teknisi tersebut menyodorkan kuitansi ongkos jasa servis seharga US $ 400,-. Sang Kepala Bagian tersebut terkejut dan berkata “masak cuman gitu doank harganya 400 dolar ? yang bener aja mas.” Si teknisi tersebut menjelaskan rinciannya :
ongkos pemanggilan US $ 25,-
ongkos memukul dengan palu US $ 1,-
ongkos mendiagnosa kerusakan dan menentukan dimana harus diketok serta seberapa kuat ketokannya US $ 474,-

Cerita diatas merupakan gambaran umum dari para pengguna teknologi (end user / operator). Rata-rata mereka melihat suatu teknologi “diujungnya” bukan pada proses didapatkannya teknologi tersebut. Wajar saja penghargaan untuk para teknisi sangatlah minim.

Proses mendapatkan “ujung” tersebut tidaklah mudah, perlu kesinambungan pembelajaran dan perkayaan pengalaman yang akan menumbuhkan insting dalam menyelesaikan masalah yang timbul dari suatu sistem. Sebuah harga yang mahal yang harus dibayar untuk mendapatkan sebuah “ujung” yang biasanya terlihat “gitu doank”. Dan kemampuan seperti itu tidak dapat dicari di sekolah formal.

Di era yang serba instant seperti saat ini, pola pikir “gitu doank” telah merasuki mayoritas ABG (Academies, Business and Government) di Indonesia. Sehingga program-program pembangunan yang berbasis produksi, riset dan pengembangan jangka panjang hampir sulit ditemukan di instansi pemerintah kita. Bahkan dunia akademis yang seharusnya menumbuhkan iklim riset dan pengembangan malah menumbuhkan budaya instant dalam menyelesaikan permasalahan dari sebuah sistem.

Tengoklah penyelesaian masalah pembajakan software, bukannya menumbuhkan budaya riset yang menitik beratkan pada open source software malah bekerjasama dengan vendor software besar dalam program “menyelesaikan masalah”. Pada akhirnya yang akan didapat hanyalah ketergantungan yang semakin dalam terhadap software komersial tersebut, dan karena kurang uang untuk membelinya, maka makin suburlah pembajakan.

Contoh lain, produksi dalam negeri pun sangatlah minim penghargaan. Sebuah mesin S sesungguhnya telah dapat diproduksi di dalam negeri, tetapi karena tidak ada semangat menumbuh kembangkan produksi dalam negeri dan karena kepentingan sesaat, maka pilihan jatuh pada impor mesin S tersebut.

Jadi sesungguhnya menumbuhkan budaya menghargai proses yaitu riset dan pengembangan produksi dalam negeri, sangatlah memerlukan political will dari setiap Pengambil keputusan dalam suatu instansi/organisasi baik level tertinggi maupun terendah, sehingga tidak ada pengecualian dalam mendorong budaya riset dan pengembangan produksi sendiri ini. -antz-

No comments: